Jumat, 20 November 2015

Metode Mendeteksi Kartel dan Upaya Meminimalisasi Praktik Kartel di Indonesia

Pendahuluan
            Pada dasarnya, kerjasama antara pelaku usaha satu dengan yang lain guna mencari keuntungan  itu diperbolehkan, selama tidak melanggar ketentuan-ketentuan negara. Yang tidak diperbolehkan adalah apabila kerjasama tersebut merugikan pelaku usaha lainnya sehingga menimbulkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
            Persaingan usaha merupakan mekanisme untuk dapat mewujudkan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Jika persaingan usaha berjalan cukup baik, maka akan tercipta kemanfaatan bagi konsumen yaitu berupa produk yang bervariasi dengan harga pasar, serta dengan kualitas tinggi. Sedangkan bila persaingan dihambat oleh peraturan atau perilaku usaha tidak sehat dari perilaku pasar, maka akan muncul dampak kerugian.  
            Hukum persaingan (hukum anti monopoli) diperlukan tidak hanya dalam rangka menjamin kebebasan untuk bertindak seluas mungkin bagi pelaku usaha, tetapi juga menentukan garis pembatas antara pelaksanaan kebebasan pelaku usaha tersebut dengan penyalahgunaan kebebasannya itu (freedom paradox). Jadi hukum anti monopoli membangun kerangka kerja dalam upaya mengatur keseimbangan kepentingan diantara para pelaku usaha, juga kepentingan konsumen. Agar hukum anti monopoli dapat terjaga, maka hukum anti monopoli harus dapat menjaga efektivitas dari persaingan usaha. Hal ini patut diperhatikan karena seringkali kebijakan persaingan usaha justru mengancam persaingan dengan aturan-aturan yang menghambat persaingan. Ancaman persaingan usaha lainnya juga datang dari para pelakuu usaha sendiri yang secara sengaja melakukan berbagai strategi bisnis yang dapat menghambat persaingan (Nurhayati, 2011 : 6 ). 
            Salah satu ancaman dari pelaku usaha tersebut adalah dengan melakukan praktek kartel. Kartel merupakan perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha yang anti persaingan. Perjanjian tersebut membahas antara lain untuk mempengaruhi harga melalui pengaturan proses produksi maupun wilayah pemasaran produk, dengan tujuan menekan persaingan agar mendapat keuntungan yang lebih besar.  
            Mengingat dampak dari adanya kartel ini cukup besar, maka kartel ini perlu dicegah. Namun, kartel sendiri sulit untuk dideteksi karena memang tidak ada bukti tertulisnya. Untuk itu, yang akan dibahas dalam esai ini adalah bagaimana menemukan adanya kolusi dan kartel, serta upaya meminimalisasi praktik kartel tersebut.

Pembahasan
            Ada dua jenis persaingan usaha, yaitu persaingan usaha yang sehat dan persaingan usaha yang tidak sehat. Persaingan usaha yang sehat adalah persaingan ekonomi yang berdasarkan pada pasar, dimana pelaku usaha secara bebas berupaya untuk mendapatkan konsumen guna mencapai tujuan usaha tertentu. Sedangkan persaingan usaha yang tidak sehat adalah persaingan yang dilakukan tidak bebas atau dengan cara menghambat persaingan usaha tersebut dan melawan hukum yang berlaku.
            Suatu persaingan usaha yang tidak sehat dapat dilihat dari cara pelakuu usaha bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Misalnya saja dalam perjanjian kartel, dimana sejumlah perusahaan yang seharusnya saling bersaing namun justru saling bekerja sama untuk mengatur kegiatannya dengan menghilangkan kompetisi diantara mereka, sehingga mereka dapat memperoleh lebih banyak keuntungan. 
            Perjanjian kartel diatur dalam Undang-Undang Anti Monopoli Pasal 11. Kartel merupakan salah satu perjanjian yang kerap kali terjadi dalam tindak monopoli. Secara sederhana, kartel diartikan sebagai perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya. Didefinisikan, bahwa kartel adalah kerjasama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu (Mustafa Kamal Rokan, 2010 : 105).
            Secara klasik, kartel dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni dalam hal harga, produksi, dan wilayah pemasaran. Terdapat dua kerugian yang terjadi pada kartel yakni terjadinya praktik monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara makro mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss, yang umumnya disebabkan oleh kebijaksanaan pembatasan produksi untuk menjaga agar harga tetap tinggi. Kedua, dari segi konsumen akan kehilangan pilihan harga, kualitas yang bersaing, dan layanan purna jual yang baik (Mustafa Kamal Rakan, 2010 : 106).  
            Dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 disebutkan bahwa salah satu syarat terjadinya kartel adalah adanya kolusi atau perjanjian diantara para pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi dalam kartel yaitu kolusi eksplisit dan kolusi diam-diam. Kolusi eksplisit yaitu kolusi yang komunikasi kesepakatannya secara langsung, dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian. Sedangkan kolusi diam-diam adalah yang bersifat rahasia.
            Dalam mendeteksi adanya perilaku kolusi pada industri, terdapat dua aliran pemikiran yang saling berseberangan satu sama lainnya. Aliran pemikiran pertama adalah structur- conduct-performance school (SCP), dimana bahwa praktik persaingan usaha tidak sehat dipengaruhi oleh besarnya tingkat konsentrasi pasar yang dimiliki industri tersebut. Jadi, terdapat suatu titik kritis pada tingkat konsentrasi pasar tertentu, dimana perusahaan menyadarii bahwa ketergantungan dengan perusahaan pesaing bersifat saling menguntungkan, dan akan saling bertindak layaknya monopolis. Aliran pemikiran kedua yaitu Chicago School. Menurut pandangan ini, perilaku perusahaan tidak dipengaruhi oleh tingginya tingkat konsentrasi dan tingkat keuntungan di pasar, karena tingginya tingkat konsentrasi dan keuntungan yang dimiliki perusahaan semata-mata disebabkan oleh tingkat efisiensi yang dimiliki perusahaan tersebut. Selanjutnya, Chicago School berpendapat bahwa adanya perilaku persaingan usaha yang tidak sehat lebih disebabkan oleh adanya peran pemerintah di dalam pasar.
            Terdapat dua tahap pendekatan ekonomi yang digunakan untuk mendeteksi kolusi. Tahap pertama yaitu menentukan pasar yang memiliki kondisi paling mungkin untuk terjadinya kolusi, dan tahap kedua yakni menentukan apakah harga yang terjadi merupakan harga persaingan atau harga karena adanya kolusi.
            Salah satu metode yang digunakan otoritas persaingan dalam mendeteksi kartel adalah dengan Coordination Failure Diagnostics (CFD) cartel audit. CFD bertujuan untuk mendeteksi keseimbangan yang mengindikasikan adanya kesejahteraan yang hilang. CFD ini menggunakan lima proses. Pertama, market clearing process yang menyebabkan penyesuaian penawaran dan permintaan untuk mencegah adanya faktor produksi yang tidak digunakan. Variabel yang digunakan adalah perbedaan jumlah permintaan dan penawaran. Kedua, rate-of-return normalization process, dimana efisiensi faktor produksi akan menciptakan kesejahteraan maksimal. Variabel yang digunakan adalah perbedaan tingkat keuntungan di pasar dengan tingkat keuntungan di dalam industri keseluruhan. Ketiga, erosion market power process yang mencegah perusahaan mempunyai posisi dominan, dan variabel yang digunakan pada tahap ini adalah indeks konsentrasi. Keempat, product innovation process yang bertujuan menjamin perusahaan domestik tetap kompetitif dan tidak kalah dengan perusahaan luar negeri. Variabel yang digunakan adalah pangsa pasar dari produk baru. Kelima, technology innovation process yang bertujuan menjamin perusahaan domestik (dalam jangka panjang) tidak akan tertinggal. Variabel yang digunakan adalah produktivitas tenaga kerja.
            CFD cartel-audit mendeteksi adanya kolusi melalui dua tahap. Pertama, dengan memeriksa ada tidaknya kelebihan kapasitas. Jika jumlah perusahaan kurang dari sepuluh dan terdapat kelebihan kapasitas produksi, maka hal tersebut mengindikasikan adanya kolusi. Kedua, dengan cara menganalisis indikasi tersebut. Melakukan pemeriksaan apakah harga yang diterapkan sering berubah, bagaimana tingkat keuntungannya normal atau tidak, kemudian seberapa besar atau kecilnya perubahan pangsa pasar, dan kurangnya inovasi produk serta tertinggalnya teknologi yang digunakan.
            Metode tersebut hanya menunjukkan indikasi adanya kolusi dalam suatu pasar, sehingga diperlukan analisa lebih lanjut untuk membuktikan ada tidaknya kolusi. Hal ini dikarenakan hal-hal seperti yang telah dijelaskan diatas, contohnya harga yang sering berubah, tidak hanya disebabkan oleh adanya kolusi tetapi juga bisa disebabkan oleh karena persaingan yang ketat antara perusahaan-perusahaan di dalam pasar.
            Metode lain untuk mendeteksi kartel yakni metode reaktif dan metode proaktif. Metode reaktif adalah metode yang didasarkan pada kondisi eksternal yang terjadi sebelum otoritas persaingan menyadari isu kartel dan memulai investigasi. Dalam mendeteksi kartel yang dilakukan secara tersembunyi, sangat efektif jika menggunakan informasi orang dalam. Metode lainnya yaitu metode proaktif, yang mana dalam mendeteksi kartel tidak berkaitan dengan peristiwa eksternal. Metode proaktif ini menganalisis pasar, monitoring kegiatan industri, serta pertukaran pengalaman dari otoritas persaingan lainnya. 
            Cara lain untuk mendeteksi ada atau tidaknya kartel adalah dengan menggunakan analisis ekonomi. Secara umum, analisis ekonomi dapat dibagi menjadi dua metodologi, yakni pendekatan struktural dan pendekatan perilaku. Pendekatan struktural meliputi identifikasi pasar dengan karakteristik yang kondusif untuk melakukan tindakan kolusif. Beberapa studi atau literatur ekonomi dapat diidentifikasikan beberapa faktor terkait dengan struktur pasar dan kekuatan pasar yang mendorong atau memfasilitasi terbentuknya perilaku kartel. Faktor-faktor ini dapat dijadikan sebagai indikasi terbentuknya suatu kartel. Sebagai contoh misalnya terbentuknya kartel dalam suatu pasar akan mudah terjadi jika pasar terdiri atas beberapa pelaku usaha, dengan produk yang homogen, dan permintaan yang stabil (A.M. Tri Anggraini, 2010 : 36).


            Pendekatan lain yaitu pendekatan perilaku, yang lebih menekankan pada sebuah output berupa adanya kemungkinan tindakan koordinatif antar pelaku kartel. Pendekatan ini berfokus pada dampak terhadap pasar atas koordinasi tersebut. Hal-hal yang perlu dicurigai antara lain adalah harga, rabat atau diskon yang sama atau identik diantara pesaing, pergerakan harga yang paralel atau kenaikan harga yang unjustified, atau pemasok yang berbeda menaikkan harga dengan margin yang sama dalam waktu yang bersamaan. Namun demikian, peningkatan harga secara paralel merupakan petunjuk adanya pasar yang bersaing secara ketat (A.M. Tri Anggraini, 2010 : 37).
            Dalam hal mengungkap kasus kartel, terdapat dua jenis alat bukti yaitu alat bukti langsung dan alat bukti tidak langsung. Alat bukti langsung adalah alat bukti yang jelas mengidentifikasikan komunikasi membentuk perjanjian, sedangkan alat bukti tidak langsung adalah bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Dalam memperoleh alat bukti tersebut, KPPU menggunakan kewenangannya berupa permintaan dokumen, menghadirkan saksi, dan melakukan investigasi ke lapangan. Bila perlu, dilakukan kerjasama dengan pihak berwajib untuk mengatasi hambatan dalam memperoleh alat bukti tersebut. Pada kasus tertentu, KPPU dapat memperoleh bukti melalui perusahaan yang terlibat kartel dengan kompensasi tertentu.
            Setelah diperoleh bukti yang cukup, langkah selanjutnya adalah melakukan pembuktian apakah kartel tersebut benar terjadi dan dapat dipersalahkan antara para pelaku usaha. Sesuai dengan pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang bersifat Rule of Reason, maka dalam membuktikan perlu dilakukan pemeriksaan mengenai alasan pelaku usaha melakukan kartel. Penegak hukum persaingan usaha harus memeriksa apakah alasan melakukan kartel tersebut dapat diterima atau tidak. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999, terdapat beberapa macam sanksi yang dapat dikenakan pada pelanggar hukum persaingan usaha yaitu berupa tindakan administratif, pidana pokok, dan pidana tambahan.       
            Larangan yang berkaitan dengan kartel ini hanya berlaku apabila perjanjian kartel tersebut dapat mengakibatkan terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Berarti, pendekatan yang digunakan dalam kartel adalah rule of reason. Keunggulan dari rule of reason adalah dapat dengan akurat dari sudut dari sudut efisiensi menetapkan apakah suatu tindakan pelaku usaha menghambat persaingan. Sedangkan kekurangannya, penilaian yang akurat tersebut bisa menimbulkan hasil analisa yang mendatangkan ketidakpastian. Kesulitan penerapan rule of reason antara lain penyelidikan akan memakan waktu yang lama dan memerlukan pengetahuan ekonomi (A.M. Tri Anggraini, 2003 : 20-21).
            Mengingat sulitnya dalam mengungkap kartel, maka penegak hukum persaingan usaha menggunakan berbagai metode untuk mengungkap adanya kartel. Penegakk hukum persaingan usaha sebaiknya mencari kelemahan dari kartel, salah satunya dengan menggunakan agensi teori karena kartel mempunyai banyak hubungan agensi. Dalam hal ini terdapat dua strategi yaitu dengan mendapatkan pengakuan dari perusahaan anggota kartel, dan mendapatkan pengakuan dari agen dari perusahaan anggota kartel.
            Dalam pendeteksian kartel, ada tiga instrumen penting dalam proses pengungkapan kartel secara efektif yaitu indirect evidence, whistle blower, dan leniency program. Pembuktian dengan indirect evidence pada kartel tidak dapat dipakai di Indonesia, apalagi jika pelaku usaha diancam tindak pidana. Whistle blower adalah karyawan pelaku kartel yang mengutamakan penegakan hukum dan mempunyai tanggung jawab untuk melaporkan pada pihak yang berwenang. Sementara leniency program adalah pemberian kekebalan terhadap hukuman bagi perusahaan yang bekerjasama dengan otoritas persaingan usaha mengenai kartel yang sedang berlangsung. Pendeteksian kartel melalui leniency program atau amnesty program diadopsi oleh banyak negara karena terbukti efektif.
            Suatu program leniency dapat dibagi menjadi dua yaitu program leniency kepada perusahaan dan program leniency untuk individu. Maksud dari program leniency kepada perusahaan adalah jika perusahaan mengakui atau bekerjasama dengan institusi penegak hukum tentang adanya kartel, maka perusahaan mendapat diskon atas denda yang akan diberikan. Sedangkan program leniency untuk individu maksudnya agen yang melaporkan adanya kartel akan diberi hadiah termasuk leniency dari tuntutan pidana, kekebalan dari tanggung jawab pribadi, dan uang insentif yang cukup.
            Metode-metode yang telah dijelaskan diatas merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya kartel dalam industri. Ada banyak contoh kasus kartel di Indonesia. Salah satu contoh praktik kartel dalam bentuk penetapan harga adalah penerapan fuel surcharge dalam industri penerbangan domestik. Kemudian contoh lain praktik kartel di Indonesia yaitu yang dilakukan oleh para operator jasa telekomunikasi pada tahun 2004 sampai April 2008, dimana dalam perjanjian kerjasama tersebut tarif SMS tidak boleh lebih rendah dari Rp 250, dan tidak boleh lebih rendah dari tarif retail penyedia akses. Dalam penetapan harga tersebut, perusahaan mendapat keuntungan yang berlebih sementara berdampak buruk pada konsumen karena harus dibebankan pada konsumen.  
            Akan tetapi, dampak dari kartel tidak hanya negatif saja. Ada dampak positif dan negatif dari adanya kartel. Untuk dampak positifnya yaitu pelaku usaha memperoleh market power dan membentuk stabilitas di tingkat produksi, harga, dan wilayah. Sedangkan dampak negatifnya yaitu mengakibatkan terjadinya inefisiensi alokasi dan inefisiensi produksi, melemahkan persaingan, menghambat inovasi, serta merugikan konsumen karena harus membayar lebih tinggi dari harga kompetitif.
            Oleh karena kartel lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya, maka kartel perlu diberantas. Untuk  itu, perlu upaya untuk meminimalisasi praktik kartel tersebut. Cara yang cukup ampuh untuk meminimalisasi kartel adalah dengan leniency program. Dalam kaitannya dengan perolehan alat bukti dan singkatnya waktu yang dimiliki KPPU untuk menghasilkan putusan, leniency program akan sangat berguna dan memudahkan KPPU untuk mendapatkan bukti berupa informasi atau pengakuan dari anggota kartel.
            Agar leniency program dapat tercapai, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu substansi regulasi dan faktor mengenaii penerapan leniency program. Dalam implementasi ketentuan leniency program, dibutuhkan penyelarasan pada seluruh tingkat perangkat hukum yang menjadi dasar hukum berlakunya leniency program di Indonesia. Perangkat hukum yang pertama yang harus diselaraskan adalah UU Nomor 5 Tahun 1999. Kemudian dalam penerapannya, leniency program mempunyai faktor-faktor penentu yang tidak akan lepas dari proses implementasinya, sehingga harus diperhatikan.
            Pertama, adalah faktor resiko. Semakin tinggi resiko yang ditanggung oleh perusahaan kartel dalam bentuk denda yang tinggi, semakin tinggi pula ketertarikan anggota kartel untuk mendapatkan kekebalan dari hukuman dengan mengikuti leniency program. Keuda, faktor politik. Apabila Indonesia ingin menerapkan leniency program, maka dibutuhkan komitmen politik untuk memberantas kartel agar program tersebut berjalan efektif. Ketiga, faktor waktu. Efek dari leniency program dalam meminimalisasi praktik kartel akan terlihat setelah satu tahun program tersebut diterapkan. Keempat, faktor kepastian hukum, yakni mengenai kepastian hukum terhadap keringanan sanksi yang akan mereka dapatkan. Kelima, faktor kerahasiaan. Kerahasiaan identitas pemohon leniency harus dijaga, karena resiko yang  mereka pertaruhkan dalam mengungkap kartel adalah kelangsungan perusahaan mereka sendiri. Keenan adalah faktor sosialisasi, karena untuk penerapannya maka program ini harus diketahui dan disebarluaskan ke masyarakat.

Kesimpulan
            Suatu persaingan usaha yang tidak sehat dapat dilihat dari cara pelaku usaha bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Contoh persaingan usaha tidak sehat adalah kartel. Kartel adalah kerjasama antara produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.
            Ada banyak metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya kartel dalam suatu industri. Metode pertama yaitu CFD, yang mendeteksi adanya kartel dengan cara memeriksa adanya kelebihan kapasitas dan dengan menganalisis indikasi yang ada tersebut. Metode lain adalah dengan metode reaktif yang didasarkan pada kondisi eksternal sebelum otoritas persaingan menyadari isu kartel dan memulai investigasi, serta metode proaktif yang menganalisis pasar dan monitoring kegiatan industri.
            Selain metode yang dijelaskan diatas, cara untuk mendeteksi kartel dengan menggunakan analisis ekonomi yang terbagi menjadi pendekatan struktural dan pendekatan perilaku. Pendekatan struktural meliputi identifikasi pasar dengan karakteristik yang kondusif untuk melakukan tindakan kolusif, sedangkan pendekatan perilaku lebih menekankan pada output yang berupa adanya kemungkinan tindakan koordinatif antar pelaku kartel.
            Dalam mengungkap kasus kartel, perlu adanya alat bukti. Dalam memperoleh bukti tersebut, KPPU menggunakan kewenangannya berupa permintaan dokumen, menghadirkan saksi, dan investigasi ke lapangan. Setelah diperoleh bukti yang cukup, langkah selanjutnya adalah melakukan pembuktian apakah kartel tersebut benar terjadi dan para pelakunya dapat disalahkan,  sesuai dengan pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang bersifat Rule of Reason.  
            Upaya untuk meminimalisasi praktik kartel adalah dengan leniency program. Leniency program adalah keistimewaan bagi pelaku usaha yang terindikasi melakukan kartel, dan syaratnya adalah pelaku usaha tersebut bersedia membuka data dan informasi kepada KPPU mengenai kartel yang dilakukan.


             
DAFTAR PUSTAKA

Alfarisi, D.A. (2010). Metode untuk Mendeteksi Kolusi. Jurnal Persaingan Usaha Komisi           Pengawas Persaingan Usaha. 3( ), 30-31.
Anggraini, A.M.T. (2011). Program Leniency dalam Mengungkap Kartel menurut Hukum             Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha. 6 ( ), 114-115.
Hanantijo, Djoko. (2013). Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Diperoleh 6 Juni 2015, dari      http://jurnal.stia-asmisolo.ac.id/index.php/jmbb/article/view/8/7
Hidayat, Rifqy. (2013). Leniency Program sebagai Upaya Minimalisasi Praktik Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Skripsi Universitas Brawijaya Malang.
KPPU. ( ). Pedoman Kartel. Diperoleh 14 Juni 2015, dari http://www.kppu.go.id/
Utami, A.D. (2014). Tinjauan Yuridis Kartel dalam Penerapan Fuel Surcharge pada Industri Jasa Penerbangan Domestik berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 613). Skripsi Universitas Sebelas Maret.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar