Pendahuluan
Pada dasarnya,
kerjasama antara pelaku usaha satu dengan yang lain guna mencari keuntungan itu diperbolehkan, selama tidak melanggar
ketentuan-ketentuan negara. Yang tidak diperbolehkan adalah apabila kerjasama
tersebut merugikan pelaku usaha lainnya sehingga menimbulkan terjadinya
persaingan usaha yang tidak sehat.
Persaingan usaha
merupakan mekanisme untuk dapat mewujudkan efisiensi dan kesejahteraan
masyarakat. Jika persaingan usaha berjalan cukup baik, maka akan tercipta
kemanfaatan bagi konsumen yaitu berupa produk yang bervariasi dengan harga
pasar, serta dengan kualitas tinggi. Sedangkan bila persaingan dihambat oleh
peraturan atau perilaku usaha tidak sehat dari perilaku pasar, maka akan muncul
dampak kerugian.
Hukum persaingan
(hukum anti monopoli) diperlukan tidak hanya dalam rangka menjamin kebebasan
untuk bertindak seluas mungkin bagi pelaku usaha, tetapi juga menentukan garis
pembatas antara pelaksanaan kebebasan pelaku usaha tersebut dengan
penyalahgunaan kebebasannya itu (freedom paradox). Jadi hukum anti
monopoli membangun kerangka kerja dalam upaya mengatur keseimbangan kepentingan
diantara para pelaku usaha, juga kepentingan konsumen. Agar hukum anti monopoli
dapat terjaga, maka hukum anti monopoli harus dapat menjaga efektivitas dari
persaingan usaha. Hal ini patut diperhatikan karena seringkali kebijakan
persaingan usaha justru mengancam persaingan dengan aturan-aturan yang
menghambat persaingan. Ancaman persaingan usaha lainnya juga datang dari para
pelakuu usaha sendiri yang secara sengaja melakukan berbagai strategi bisnis
yang dapat menghambat persaingan (Nurhayati, 2011 : 6 ).
Salah satu ancaman
dari pelaku usaha tersebut adalah dengan melakukan praktek kartel. Kartel
merupakan perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha yang anti persaingan.
Perjanjian tersebut membahas antara lain untuk mempengaruhi harga melalui
pengaturan proses produksi maupun wilayah pemasaran produk, dengan tujuan
menekan persaingan agar mendapat keuntungan yang lebih besar.
Mengingat dampak
dari adanya kartel ini cukup besar, maka kartel ini perlu dicegah. Namun,
kartel sendiri sulit untuk dideteksi karena memang tidak ada bukti tertulisnya.
Untuk itu, yang akan dibahas dalam esai ini adalah bagaimana menemukan adanya
kolusi dan kartel, serta upaya meminimalisasi praktik kartel tersebut.
Pembahasan
Ada dua jenis
persaingan usaha, yaitu persaingan usaha yang sehat dan persaingan usaha yang
tidak sehat. Persaingan usaha yang sehat adalah persaingan ekonomi yang
berdasarkan pada pasar, dimana pelaku usaha secara bebas berupaya untuk
mendapatkan konsumen guna mencapai tujuan usaha tertentu. Sedangkan persaingan
usaha yang tidak sehat adalah persaingan yang dilakukan tidak bebas atau dengan
cara menghambat persaingan usaha tersebut dan melawan hukum yang berlaku.
Suatu persaingan
usaha yang tidak sehat dapat dilihat dari cara pelakuu usaha bersaing dengan
pelaku usaha lainnya. Misalnya saja dalam perjanjian kartel, dimana sejumlah
perusahaan yang seharusnya saling bersaing namun justru saling bekerja sama
untuk mengatur kegiatannya dengan menghilangkan kompetisi diantara mereka,
sehingga mereka dapat memperoleh lebih banyak keuntungan.
Perjanjian kartel
diatur dalam Undang-Undang Anti Monopoli Pasal 11. Kartel merupakan salah satu
perjanjian yang kerap kali terjadi dalam tindak monopoli. Secara sederhana,
kartel diartikan sebagai perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya. Didefinisikan,
bahwa kartel adalah kerjasama dari produsen-produsen produk tertentu yang
bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan
monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu (Mustafa Kamal Rokan, 2010 :
105).
Secara klasik,
kartel dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni dalam hal harga, produksi, dan
wilayah pemasaran. Terdapat dua kerugian yang terjadi pada kartel yakni
terjadinya praktik monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara makro
mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya
deadweight loss, yang umumnya disebabkan oleh kebijaksanaan pembatasan
produksi untuk menjaga agar harga tetap tinggi. Kedua, dari segi konsumen akan
kehilangan pilihan harga, kualitas yang bersaing, dan layanan purna jual yang
baik (Mustafa Kamal Rakan, 2010 : 106).
Dalam Peraturan
KPPU Nomor 4 Tahun 2010 disebutkan bahwa salah satu syarat terjadinya kartel
adalah adanya kolusi atau perjanjian diantara para pelaku usaha. Ada dua bentuk
kolusi dalam kartel yaitu kolusi eksplisit dan kolusi diam-diam. Kolusi
eksplisit yaitu kolusi yang komunikasi kesepakatannya secara langsung, dapat
dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian. Sedangkan kolusi diam-diam adalah
yang bersifat rahasia.
Dalam mendeteksi
adanya perilaku kolusi pada industri, terdapat dua aliran pemikiran yang saling
berseberangan satu sama lainnya. Aliran pemikiran pertama adalah structur-
conduct-performance school (SCP), dimana bahwa praktik persaingan usaha
tidak sehat dipengaruhi oleh besarnya tingkat konsentrasi pasar yang dimiliki
industri tersebut. Jadi, terdapat suatu titik kritis pada tingkat konsentrasi
pasar tertentu, dimana perusahaan menyadarii bahwa ketergantungan dengan
perusahaan pesaing bersifat saling menguntungkan, dan akan saling bertindak
layaknya monopolis. Aliran pemikiran kedua yaitu Chicago School. Menurut
pandangan ini, perilaku perusahaan tidak dipengaruhi oleh tingginya tingkat
konsentrasi dan tingkat keuntungan di pasar, karena tingginya tingkat
konsentrasi dan keuntungan yang dimiliki perusahaan semata-mata disebabkan oleh
tingkat efisiensi yang dimiliki perusahaan tersebut. Selanjutnya, Chicago
School berpendapat bahwa adanya perilaku persaingan usaha yang tidak sehat
lebih disebabkan oleh adanya peran pemerintah di dalam pasar.
Terdapat dua tahap
pendekatan ekonomi yang digunakan untuk mendeteksi kolusi. Tahap pertama yaitu
menentukan pasar yang memiliki kondisi paling mungkin untuk terjadinya kolusi,
dan tahap kedua yakni menentukan apakah harga yang terjadi merupakan harga
persaingan atau harga karena adanya kolusi.
Salah satu metode
yang digunakan otoritas persaingan dalam mendeteksi kartel adalah dengan Coordination
Failure Diagnostics (CFD) cartel audit. CFD bertujuan untuk mendeteksi
keseimbangan yang mengindikasikan adanya kesejahteraan yang hilang. CFD ini
menggunakan lima proses. Pertama, market clearing process yang
menyebabkan penyesuaian penawaran dan permintaan untuk mencegah adanya faktor
produksi yang tidak digunakan. Variabel yang digunakan adalah perbedaan jumlah
permintaan dan penawaran. Kedua, rate-of-return normalization process,
dimana efisiensi faktor produksi akan menciptakan kesejahteraan maksimal.
Variabel yang digunakan adalah perbedaan tingkat keuntungan di pasar dengan
tingkat keuntungan di dalam industri keseluruhan. Ketiga, erosion market
power process yang mencegah perusahaan mempunyai posisi dominan, dan
variabel yang digunakan pada tahap ini adalah indeks konsentrasi. Keempat, product
innovation process yang bertujuan menjamin perusahaan domestik tetap
kompetitif dan tidak kalah dengan perusahaan luar negeri. Variabel yang
digunakan adalah pangsa pasar dari produk baru. Kelima, technology
innovation process yang bertujuan menjamin perusahaan domestik (dalam
jangka panjang) tidak akan tertinggal. Variabel yang digunakan adalah
produktivitas tenaga kerja.
CFD cartel-audit
mendeteksi adanya kolusi melalui dua tahap. Pertama, dengan memeriksa ada
tidaknya kelebihan kapasitas. Jika jumlah perusahaan kurang dari sepuluh dan
terdapat kelebihan kapasitas produksi, maka hal tersebut mengindikasikan adanya
kolusi. Kedua, dengan cara menganalisis indikasi tersebut. Melakukan
pemeriksaan apakah harga yang diterapkan sering berubah, bagaimana tingkat
keuntungannya normal atau tidak, kemudian seberapa besar atau kecilnya
perubahan pangsa pasar, dan kurangnya inovasi produk serta tertinggalnya
teknologi yang digunakan.
Metode tersebut
hanya menunjukkan indikasi adanya kolusi dalam suatu pasar, sehingga diperlukan
analisa lebih lanjut untuk membuktikan ada tidaknya kolusi. Hal ini dikarenakan
hal-hal seperti yang telah dijelaskan diatas, contohnya harga yang sering
berubah, tidak hanya disebabkan oleh adanya kolusi tetapi juga bisa disebabkan
oleh karena persaingan yang ketat antara perusahaan-perusahaan di dalam pasar.
Metode lain untuk
mendeteksi kartel yakni metode
reaktif dan metode proaktif. Metode reaktif adalah metode yang didasarkan pada
kondisi eksternal yang terjadi sebelum otoritas persaingan menyadari isu kartel
dan memulai investigasi. Dalam mendeteksi kartel yang dilakukan secara
tersembunyi, sangat efektif jika menggunakan informasi orang dalam. Metode
lainnya yaitu metode proaktif, yang mana dalam mendeteksi kartel tidak
berkaitan dengan peristiwa eksternal. Metode proaktif ini menganalisis pasar,
monitoring kegiatan industri, serta pertukaran pengalaman dari otoritas
persaingan lainnya.
Cara lain untuk mendeteksi
ada atau tidaknya kartel adalah dengan menggunakan analisis ekonomi. Secara
umum, analisis ekonomi dapat dibagi menjadi dua metodologi, yakni pendekatan
struktural dan pendekatan perilaku. Pendekatan struktural meliputi identifikasi
pasar dengan karakteristik yang kondusif untuk melakukan tindakan kolusif.
Beberapa studi atau literatur ekonomi dapat diidentifikasikan beberapa faktor
terkait dengan struktur pasar dan kekuatan pasar yang mendorong atau
memfasilitasi terbentuknya perilaku kartel. Faktor-faktor ini dapat dijadikan
sebagai indikasi terbentuknya suatu kartel. Sebagai contoh misalnya
terbentuknya kartel dalam suatu pasar akan mudah terjadi jika pasar terdiri
atas beberapa pelaku usaha, dengan produk yang homogen, dan permintaan yang
stabil (A.M. Tri Anggraini, 2010 : 36).
Pendekatan lain
yaitu pendekatan perilaku, yang lebih menekankan pada sebuah output berupa
adanya kemungkinan tindakan koordinatif antar pelaku kartel. Pendekatan ini
berfokus pada dampak terhadap pasar atas koordinasi tersebut. Hal-hal yang
perlu dicurigai antara lain adalah harga, rabat atau diskon yang sama atau
identik diantara pesaing, pergerakan harga yang paralel atau kenaikan harga
yang unjustified, atau pemasok yang berbeda menaikkan harga dengan
margin yang sama dalam waktu yang bersamaan. Namun demikian, peningkatan harga
secara paralel merupakan petunjuk adanya pasar yang bersaing secara ketat (A.M.
Tri Anggraini, 2010 : 37).
Dalam hal mengungkap
kasus kartel, terdapat dua jenis alat bukti yaitu alat bukti langsung dan alat
bukti tidak langsung. Alat bukti langsung adalah alat bukti yang jelas
mengidentifikasikan komunikasi membentuk perjanjian, sedangkan alat bukti tidak
langsung adalah bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Dalam memperoleh alat bukti
tersebut, KPPU menggunakan kewenangannya berupa permintaan dokumen,
menghadirkan saksi, dan melakukan investigasi ke lapangan. Bila perlu,
dilakukan kerjasama dengan pihak berwajib untuk mengatasi hambatan dalam
memperoleh alat bukti tersebut. Pada kasus tertentu, KPPU dapat memperoleh bukti
melalui perusahaan yang terlibat kartel dengan kompensasi tertentu.
Setelah diperoleh
bukti yang cukup, langkah selanjutnya adalah melakukan pembuktian apakah kartel
tersebut benar terjadi dan dapat dipersalahkan antara para pelaku usaha. Sesuai
dengan pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang bersifat Rule of Reason, maka
dalam membuktikan perlu dilakukan pemeriksaan mengenai alasan pelaku usaha
melakukan kartel. Penegak hukum persaingan usaha harus memeriksa apakah alasan
melakukan kartel tersebut dapat diterima atau tidak. Berdasarkan UU Nomor 5
Tahun 1999, terdapat beberapa macam sanksi yang dapat dikenakan pada pelanggar
hukum persaingan usaha yaitu berupa tindakan administratif, pidana pokok, dan
pidana tambahan.
Larangan yang
berkaitan dengan kartel ini hanya berlaku apabila perjanjian kartel tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Berarti, pendekatan yang digunakan dalam kartel adalah rule of reason.
Keunggulan dari rule of reason adalah dapat dengan akurat dari sudut
dari sudut efisiensi menetapkan apakah suatu tindakan pelaku usaha menghambat
persaingan. Sedangkan kekurangannya, penilaian yang akurat tersebut bisa
menimbulkan hasil analisa yang mendatangkan ketidakpastian. Kesulitan penerapan
rule of reason antara lain penyelidikan akan memakan waktu yang lama dan
memerlukan pengetahuan ekonomi (A.M. Tri Anggraini, 2003 : 20-21).
Mengingat sulitnya
dalam mengungkap kartel, maka penegak hukum persaingan usaha menggunakan
berbagai metode untuk mengungkap adanya kartel. Penegakk hukum persaingan usaha
sebaiknya mencari kelemahan dari kartel, salah satunya dengan menggunakan
agensi teori karena kartel mempunyai banyak hubungan agensi. Dalam hal ini
terdapat dua strategi yaitu dengan mendapatkan pengakuan dari perusahaan
anggota kartel, dan mendapatkan pengakuan dari agen dari perusahaan anggota
kartel.
Dalam pendeteksian
kartel, ada tiga instrumen penting dalam proses pengungkapan kartel secara
efektif yaitu indirect evidence, whistle blower, dan leniency
program. Pembuktian dengan indirect evidence pada kartel tidak dapat
dipakai di Indonesia, apalagi jika pelaku usaha diancam tindak pidana. Whistle
blower adalah karyawan pelaku kartel yang mengutamakan penegakan hukum dan
mempunyai tanggung jawab untuk melaporkan pada pihak yang berwenang. Sementara leniency
program adalah pemberian kekebalan terhadap hukuman bagi perusahaan yang
bekerjasama dengan otoritas persaingan usaha mengenai kartel yang sedang
berlangsung. Pendeteksian kartel melalui leniency program atau amnesty
program diadopsi oleh banyak negara karena terbukti efektif.
Suatu program leniency
dapat dibagi menjadi dua yaitu program leniency kepada perusahaan dan
program leniency untuk individu. Maksud dari program leniency
kepada perusahaan adalah jika perusahaan mengakui atau bekerjasama dengan
institusi penegak hukum tentang adanya kartel, maka perusahaan mendapat diskon
atas denda yang akan diberikan. Sedangkan program leniency untuk
individu maksudnya agen yang melaporkan adanya kartel akan diberi hadiah
termasuk leniency dari tuntutan pidana, kekebalan dari tanggung jawab
pribadi, dan uang insentif yang cukup.
Metode-metode yang
telah dijelaskan diatas merupakan metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya
kartel dalam industri. Ada banyak contoh kasus kartel di Indonesia. Salah satu
contoh praktik kartel dalam bentuk penetapan harga adalah penerapan fuel
surcharge dalam industri penerbangan domestik. Kemudian contoh lain praktik
kartel di Indonesia yaitu yang dilakukan oleh para operator jasa telekomunikasi
pada tahun 2004 sampai April 2008, dimana dalam perjanjian kerjasama tersebut tarif
SMS tidak boleh lebih rendah dari Rp 250, dan tidak boleh lebih rendah dari
tarif retail penyedia akses. Dalam penetapan harga tersebut, perusahaan
mendapat keuntungan yang berlebih sementara berdampak buruk pada konsumen
karena harus dibebankan pada konsumen.
Akan tetapi,
dampak dari kartel tidak hanya negatif saja. Ada dampak positif dan negatif
dari adanya kartel. Untuk dampak positifnya yaitu pelaku usaha memperoleh market
power dan membentuk stabilitas di tingkat produksi, harga, dan wilayah.
Sedangkan dampak negatifnya yaitu mengakibatkan terjadinya inefisiensi alokasi
dan inefisiensi produksi, melemahkan persaingan, menghambat inovasi, serta
merugikan konsumen karena harus membayar lebih tinggi dari harga kompetitif.
Oleh karena kartel
lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya, maka kartel perlu
diberantas. Untuk itu, perlu upaya untuk
meminimalisasi praktik kartel tersebut. Cara yang cukup ampuh untuk
meminimalisasi kartel adalah dengan leniency program. Dalam kaitannya
dengan perolehan alat bukti dan singkatnya waktu yang dimiliki KPPU untuk
menghasilkan putusan, leniency program akan sangat berguna dan memudahkan KPPU
untuk mendapatkan bukti berupa informasi atau pengakuan dari anggota kartel.
Agar leniency
program dapat tercapai, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu substansi
regulasi dan faktor mengenaii penerapan leniency program. Dalam
implementasi ketentuan leniency program, dibutuhkan penyelarasan pada
seluruh tingkat perangkat hukum yang menjadi dasar hukum berlakunya leniency
program di Indonesia. Perangkat hukum yang pertama yang harus diselaraskan
adalah UU Nomor 5 Tahun 1999. Kemudian dalam penerapannya, leniency program
mempunyai faktor-faktor penentu yang tidak akan lepas dari proses
implementasinya, sehingga harus diperhatikan.
Pertama, adalah
faktor resiko. Semakin tinggi resiko yang ditanggung oleh perusahaan kartel
dalam bentuk denda yang tinggi, semakin tinggi pula ketertarikan anggota kartel
untuk mendapatkan kekebalan dari hukuman dengan mengikuti leniency program.
Keuda, faktor politik. Apabila Indonesia ingin menerapkan leniency program,
maka dibutuhkan komitmen politik untuk memberantas kartel agar program tersebut
berjalan efektif. Ketiga, faktor waktu. Efek dari leniency program dalam
meminimalisasi praktik kartel akan terlihat setelah satu tahun program tersebut
diterapkan. Keempat, faktor kepastian hukum, yakni mengenai kepastian hukum
terhadap keringanan sanksi yang akan mereka dapatkan. Kelima, faktor
kerahasiaan. Kerahasiaan identitas pemohon leniency harus dijaga, karena resiko
yang mereka pertaruhkan dalam mengungkap
kartel adalah kelangsungan perusahaan mereka sendiri. Keenan adalah faktor
sosialisasi, karena untuk penerapannya maka program ini harus diketahui dan
disebarluaskan ke masyarakat.
Kesimpulan
Suatu persaingan
usaha yang tidak sehat dapat dilihat dari cara pelaku usaha bersaing dengan
pelaku usaha lainnya. Contoh persaingan usaha tidak sehat adalah kartel. Kartel
adalah kerjasama antara produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan
mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli
terhadap komoditas atau industri tertentu.
Ada banyak metode
yang digunakan untuk mendeteksi adanya kartel dalam suatu industri. Metode
pertama yaitu CFD, yang mendeteksi adanya kartel dengan cara memeriksa adanya
kelebihan kapasitas dan dengan menganalisis indikasi yang ada tersebut. Metode
lain adalah dengan metode reaktif yang didasarkan pada kondisi eksternal
sebelum otoritas persaingan menyadari isu kartel dan memulai investigasi, serta
metode proaktif yang menganalisis pasar dan monitoring kegiatan industri.
Selain metode yang
dijelaskan diatas, cara untuk mendeteksi kartel dengan menggunakan analisis
ekonomi yang terbagi menjadi pendekatan struktural dan pendekatan perilaku.
Pendekatan struktural meliputi identifikasi pasar dengan karakteristik yang
kondusif untuk melakukan tindakan kolusif, sedangkan pendekatan perilaku lebih
menekankan pada output yang berupa adanya kemungkinan tindakan koordinatif
antar pelaku kartel.
Dalam mengungkap kasus
kartel, perlu adanya alat bukti. Dalam memperoleh bukti tersebut, KPPU
menggunakan kewenangannya berupa permintaan dokumen, menghadirkan saksi, dan
investigasi ke lapangan. Setelah diperoleh bukti yang cukup, langkah
selanjutnya adalah melakukan pembuktian apakah kartel tersebut benar terjadi
dan para pelakunya dapat disalahkan,
sesuai dengan pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang bersifat Rule of
Reason.
Upaya untuk
meminimalisasi praktik kartel adalah dengan leniency program. Leniency
program adalah keistimewaan bagi pelaku usaha yang terindikasi melakukan
kartel, dan syaratnya adalah pelaku usaha tersebut bersedia membuka data dan
informasi kepada KPPU mengenai kartel yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Alfarisi, D.A. (2010). Metode untuk Mendeteksi Kolusi. Jurnal
Persaingan Usaha Komisi Pengawas
Persaingan Usaha. 3( ), 30-31.
Anggraini, A.M.T. (2011). Program Leniency dalam Mengungkap Kartel
menurut Hukum Persaingan
Usaha. Jurnal Persaingan Usaha. 6 ( ), 114-115.
Hanantijo, Djoko. (2013). Kartel : Persaingan Tidak Sehat.
Diperoleh 6 Juni 2015, dari http://jurnal.stia-asmisolo.ac.id/index.php/jmbb/article/view/8/7
Hidayat, Rifqy. (2013). Leniency Program sebagai Upaya Minimalisasi
Praktik Kartel dalam Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia. Skripsi Universitas Brawijaya Malang.
KPPU. ( ). Pedoman Kartel. Diperoleh 14 Juni 2015, dari
http://www.kppu.go.id/
Utami, A.D. (2014). Tinjauan Yuridis Kartel dalam Penerapan Fuel
Surcharge pada Industri Jasa
Penerbangan Domestik berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 613). Skripsi Universitas Sebelas Maret.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar