Jumat, 20 November 2015

Strategi Konservasi Gajah di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Gajah Sumatera dan gajah Kalimantan adalah sub-spesies gajah Asia, dan semua gajah Asia digolongkan sebagai satwa yang terancam punah dalam daftar merah spesies terancam yang dirilis oleh Lembaga Konservasi Dunia IUCN.  Ancaman utama bagi gajah Sumatera dan gajah Kalimantan adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang tidak berkelanjutan dan disusul akibat perburuan, serta perdagangan liar.
            Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia dan populasi gajah berkurang lebih cepat dibandingkan dengan jumlah hutannya. Penyusutan atau hilangnya habitat satwa besar ini telah memaksa gajah untuk masuk ke kawasan penduduk sehingga memicu konflik antara manusia dengan gajah, yang sering berakhir dengan kematian gajah dan manusia, serta kerusakan lahan.
            Pengembangan industri pulp dan kertas serta industri kelapa sawit juga merupakan pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera. Pembangunan perkebunan sawit mendorong terjadinya konflik antara manusia dengan gajah yang semakin hari kian memuncak. Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah, dan kerusakan yang ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan pembunuhan yang umumnya dilakukan dengan peracunan dan penangkapan.
            Perburuan gajah di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Hewan langka dilindungi tersebut sering ditemukan mati dalam kondisi gading yang hilang. Gading gajah merupakan salah satu aset berharga yang terus menjadi perburuan. Banyak perhiasan dan berbagai macam kerajinan tangan seperti ukiran dibuat dari gading gajah ini. Harganya pun mencapai puluhan juta, karenanya banyak orang yang tergiur untuk mengambilnya meski harus dengan membunuh gajah tersebut.
            Dalam tujuh tahun terakhir, konflik antara manusia, pembangunan ekonomi, serta gajah Sumatera dan Kalimantan meningkat dengan pesat.  Oleh karena itu, dalam upaya menyelesaikan permasalahan gajah di Indonesia, pemerintah dan para pihak terkait termasuk pemerhati gajah melakukan kajian dan menetapkan strategi dan rencana aksi konservasi gajah Indonesia.
            Melindungi kawasan hutan yang tersisa merupakan hal yang sangat penting agar kelangsungan hidup populasi gajah dapat terus berlanjut. Koridor-koridor satwa liar dalam kawasan hutan harus dipertahankan atau diciptakan kembali sehingga dapat menyediakan wilayah yang aman bagi gajah untuk memperoleh sumber-sumber makanan baru dan berkembang biak.
B.     Tinjauan Pustaka
1)      Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)
     Gajah adalah mamalia darat terbesar yang merupakan salah satu satwa peninggalan zaman purba yang masih bertahan hidup di dunia dengan penyebaran yang sangat terbatas. Spesies ini terdaftar dalam red list book IUCN (The World Conservation Union), dengan status terancam punah, sementara itu CITES (Convention on International trade of Endangered Fauna and Flora) telah mengkategorikan gajah Asia dalam kelompok Appendix I (Suara Satwa, 2008).
     Secara umum, gajah hanya terbagi menjadi 2 spesies utama yaitu gajah Afrika (Loxodonta Africana) dan gajah Asia (Elephas Maximus). Gajah Asia berbeda dari saudaranya gajah Afrika, karena ukuran tubuh dan telinganya lebih kecil, punggungnya lebih bundar, dan memiliki empat kuku di jari kaki. Yang sangat menarik adalah telinga gajah Asia berbentuk mirip dengan pola dataran India, sedangkan telinga gajah Afrika berbentuk benua Afrika. Secara umum gajah Asia memiliki tiga sub-spesies, salah satunya adalah gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatera, Indonesia (Suara Satwa, 2008).
     Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub-spesies gajah Asia. Dua sub-spesies yang lainnya yakni Elephas Maximus Maximus dan Elephas Maximusindicus hidup di anak benua India, Asia Tenggara dan Borneo (Hamid, 2001).
     Satwa ini merupakan spesies yang hidup dengan pola matriarchal yaitu hidup berkelompok dan dipimpin oleh betina dewasa dengan ikatan sosial yang kuat. Studi di India menunjukkan populasi gajah memiliki pergerakan musiman berkelompok dalam jumlah 50-200 individual (Sukumar,1989).
     Pada musim kemarau, gerombolan gajah yang terdiri dari 20-60 ekor biasanya bergerak melalui jalur jelajah alaminya untuk mencari pakan dari hutan-hutan dataran tinggi menuju hutan-hutan dataran rendah. Pergerakan sebaliknya dilakukan pada musim hujan (Wiranto, dkk. 2004).
2)      Persebaran Gajah di Indonesia
     Populasi gajah Sumatera tersebar di tujuh provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara itu, gajah Kalimantan hanya terdapat di satu provinsi yaitu Kalimantan Timur. Sekalipun satwa ini tergolong dalam prioritas konservasi yang tinggi, ternyata sampai dengan saat ini kajian dan analisa distribusi dan populasi kedua satwa ini belum dilakukan secara komprehensif dengan menggunakan metode ilmiah yang baku. Para otoritas pengelola gajah di Indonesia, Departemen Kehutanan, hanya memperkirakan populasi gajah di alam dengan menggunakan metoda ekstrapolasi dari beberapa observasi langsung dan informasi dari para petugas lapangan yang bekerja di Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Dinas Kehutanan (Suara Satwa, 2008).
     Dalam pertemuan Lokakarya Gajah dan Harimau pada bulan Agustus 2007, para pemerhati gajah di Indonesia menyadari bahwa informasi akurat untuk mengukur jumlah populasi gajah di Sumatera dan Kalimantan sangat sukar diperoleh. Oleh karenanya dilakukan estimasi sementara jumlah populasi gajah Sumatera berkisar antara 2400-2800 individu dan jumlah populasi gajah Kalimantan berkisar antara 60-100 individu (Dirjen PHKA, 2007).
     Apabila diasumsikan perkiraan ini memiliki tingkat keakuratan yang sama dengan perkiraan yang pernah dilakukan pada tahun 1990-an maka populasi gajah Sumatera telah mengalami penurunan sekitar 35% dari tahun 1992, dan nilai ini merupakan penurunan yang sangat besar dalam waktu yang relatif pendek. Data populasi dan distribusi yang kurang akurat dan sudah terlalu lama akan menyulitkan banyak pihak khususnya para petugas lapangan pengelola taman nasional dan juga para pemegang keputusan dalam menentukan dan mengalokasikan kawasan-kawasan yang diperlukan untuk prioritas konservasi gajah dan pembangunan nasional di kedua pulau tersebut (Dirjen PHKA, 2007).

3)      Permasalahan Gajah di Indonesia
     Laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Pulau Sumatera, secara langsung telah memberikan pengaruh signifikan pada terjadinya pengurangan populasi gajah Sumatera di alam. Dampak pengurangan terbesar pada keberadaan populasi gajah di alam selain karena adanya perburuan, juga disebabkan oleh semakin berkurangnya luasan habitat gajah. Pengurangan habitat gajah secara nyata ini karena berubahnya habitat gajah sumatera menjadi perkebunan monokultur skala besar (sawit, karet, dan kakao) yang telah menggusur habitat gajah sumatera. Selain itu, hal ini juga telah membuat gajah terjebak dalam blok-blok kecil hutan yang tidak cukup untuk menyokong kehidupan gajah untuk jangka panjang, di sisi lain hal ini juga yang menjadi pemicu terjadinya konflik antara manusia dengan gajah. Untuk itu, perlu adanya penanganan khusus terutama untuk menghindarkan gajah dari kepunahan dan juga konflik dengan manusia (Suara Satwa, 2008).
4)      Konsep Konservasi         
     Konservasi diartikan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dengan berpedoman pada asas pelestarian. Sumber daya alam adalah unsur-unsur hayati yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem (KEHATI, 2000).
     Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya (Departemen Pendidikan Nasional, 2005).
     Dalam Undang-Undang Republik Indonesia tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Pasal 1 Nomor 5 Tahun 1990 yaitu bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestariaan sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Departemen Kehutanan, 2000).
     Pada dasarnya konservasi merupakan suatu perlindungan terhadap alam dan makhluk lainnya. Sesuatu yang mendapat perlindungan maka dengan sendiri akan terwujud kelestarian.
Konservasi menurut KEHATI dapat diwujudkan dengan melalui :
a.       Terjaganya kondisi alam dan lingkungannya, berarti upaya konservasi dilakukan dengan memelihara agar kawasan konservasi tidak rusak.
b.      Terhindarnya bencana akibat perubahan alam, yang berarti gangguan-gangguan terhadap flora fauna dan ekosistemnya pada khususnya serta sumber daya alam pada umumnya menyebabkan perubahan berupa kerusakan maupun penurunan jumlah dan mutu sumber daya alam tersebut.
c.       Terhindarnya makhluk hidup dari kepunahan, berarti jika gangguan-gangguan penyebab turunnya jumlah dan mutu makhluk hidup terus dibiarkan tanpa upaya pengendalian akan berakibat makhluk hidup tersebut menuju kepunahan bahkan punah sama sekali.
d.      Mampu mewujudkan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun makro, berarti dalam ekosistem terdapat hubungan yang erat antara makhluk hidup maupun dengan lingkungannya.
e.       Mampu memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, berarti upaya konservasi sebagai sarana pengawetan dan pelestarian flora dan fauna merupakan penunjang budidaya, sarana untuk mempelajari flora dan fauna yang sudah punah maupun belum punah dari sifat, potensi, maupun penggunaannya.
f.       Mampu memberi kontribusi terhadap kepariwisataan, berarti ciri-ciri dan obyeknya yang karakteristik merupakan kawasan ideal sebagai sarana rekreasi atau wisata alam.

     Kekayaan flora dan fauna merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sampai batas-batas tertentu yang tidak mengganggu kelestarian. Penurunan jumlah dan mutu kehidupan flora dan fauna dikendalikan melalui kegiatan konservasi secara in-situ maupun ex-situ.

a.       Konservasi in-situ (di dalam kawasan) adalah konservasi flora, fauna, dan ekosistem yang dilakukan di dalam habitat aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami. Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi in-situ dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), zona inti taman nasional, dan hutan lindung.
b.      Konservasi ex-situ (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan cara pengumpulan jenis, pemeliharaan dan budidaya (penangkaran). Konservasi ex-situ dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun botani, taman hutan raya, kebun raya, penangkaran satwa, taman safari, taman kota, dan taman burung. Cara ex-situ merupakan suatu cara memanipulasi obyek yang dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik.
c.       Regulasi dan penegakan hukum adalah upaya-upaya mengatur pemanfaatan flora dan fauna secara bertanggungjawab. Kegiatan konkritnya berupa pengawasan lalu lintas flora dan fauna, penetapan kuota dan penegakan hukum serta pembuatan peraturan dan undang-undang di bidang konservasi.
d.      Peningkatan peran serta masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati. Program ini dilaksanakan melalui kegiatan pendidikan dan penyuluhan. Dalam hubungan ini dikenal adanya kelompok pecinta alam, kader konservasi, kelompok pelestari sumber daya alam, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain-lainnya (Sukamade, 1997).  
5)      Pengertian Kawasan Suaka Alam
     Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 dinyatakan bahwa kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga.
Klasifikasi kawasan suaka alam menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 :
a)      Kawasan cagar alam, yaitu kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
b)      Kawasan suaka margasatwa, yaitu kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Kriteria kawasan suaka margasatwa :
1.      Merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya.
2.      Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi.
3.      Merupakan habitat dari suatu jenis langka dan dikhawatirkan akan punah.
4.       Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
5.      Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.

6)      Fungsi dan Sistem Pengelolaan Kawasan Suaka Margasatwa
Kawasan suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk :
1.      Penelitian dan pengembangan meliputi penelitian dasar serta penelitian untuk pemanfaatan dan budidaya.
2.      Ilmu pengetahuan dan pendidikan, dapat dilaksanakan dalam bentuk pengenalan dan peragaan ekosistem suaka margasatwa.
3.      Wisata alam terbatas, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 disebutkan bahwa dalam kawasan suaka margasatwa dapat dilaksanakan pengusahaan pariwisata alam, tetapi hanya dapat dilakukan kegiatan wisata terbatas berupa kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan keanekaragaman tumbuhan serta satwa yang ada di dalamnya.
4.      Kegiatan penunjang budidaya dilakukan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan, dan penggunaan plasma nutfah tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam kawasan suaka margasatwa.

     Suatu kawasan suaka margasatwa dikelola berdasarkan rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek biologis, teknis, ekonomis, dan sosial budaya. Rencana pengelolaan memuat tujuan pengelolaan dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan kawasan.

Upaya pengawetan kawasan suaka margasatwa dilaksanakan dalam bentuk :
1.      Perlindungan dan pengamanan kawasan.
2.      Inventarisasi potensi pakan.
3.      Penelitian dan pengembangan yang menunjang pengawetan.
4.      Pembinaan habitat dan populasi satwa melalui kegiatan pembinaan padang rumput, pembuatan fasilitas air minum dan tempat berkubang atau mandi satwa, penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon sumber makanan satwa, serta pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kondisi Gajah di Indonesia Saat Ini
            Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) hampir punah dan sebagian berstatus kritis di lebih dari separuh habitatnya di Sumatera. Alih fungsi lahan dan tingginya konflik dengan manusia dinilai menjadi penyebab penyusutan drastis populasi gajah. Lembaga Internasional Union for Conservation of Nature memasukkan gajah Sumatera ke dalam daftar binatang yang hampir punah karena penyusutannya sangat drastis. Pada tahun 1985, gajah sumatera masih berjumlah 5000 ekor. Kini, jumlahnya tersisa hanya 1800-an ekor yang tersebar di Lampung, Aceh, dan Riau.
            Data Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menunjukkan, dari 56 habitat, gajah dinyatakan punah sejak lima tahun terakhir di 13 lokasi dan berstatus kritis di 11 lokasi. Selain itu, populasi gajah di ambang kritis di 2 lokasi. Lokasi populasi gajah yang dinyatakan kritis antara lain di Bukit Salero dan Gunung Raya yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatera Selatan. Di lokasi itu hanya ada empat gajah, idealnya populasi gajah sebanyak 30-60 ekor per habitat.
            Sepanjang 2012-2014 setidaknya 22 ekor gajah ditemukan mati di hutan Aceh. Semua gajah ini mati dalam kondisi mengenaskan, ada yang ditombak, diracun, masuk dalam jebakan maut, hingga dibunuh ramai-ramai. Kasus terakhir terjadi pada 11 April 2014, seekor gajah kembali ditemukan tewas mengenaskan di kawasan hutan desa Teupin Panah, kecamatan Kawai IV, Kabupaten Aceh Barat, yang terjerat perangkap pemburu gajah liar.
            Berkurangnya populasi gajah di Aceh juga disebabkan perburuan liar gading gajah. Hampir semua gajah yang mati saat ditemukan sudah tanpa gading. Diduga kuat kematian gajah di Aceh akibat perburuan gading gajah yang melibatkan mafia yang membentuk sindikasi.  
            Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh, Genman S. Hasibuan tidak menampik jika berbagai kasus kematian gajah di Aceh melibatkan para sindikat, dan tindakan tersebut diancam pidana karena melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990.
            Sementara itu, IUCN mengklasifikasikan gajah kerdil Kalimantan atau yang kerap dijuluki “Borneo Pygmy Elephant” ini dalam kategori genting. Hasil penelitian WWF Indonesia dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur pada Tahun 2007-2012, memperkirakan populasi gajah kerdil tersebut berada pada kisaran 80 ekor saja, karena keberadaan gajah Kalimantan tersebut kian terusik oleh perubahan fungsi hutan dan lahan.
B.     Ancaman Terhadap Kelestarian Gajah di Indonesia
            Kehilangan habitat, fragmentasi habitat, serta menurunnya kualitas habitat gajah karena konversi hutan atau pemanfaatan sumber daya hutan untuk keperluan pembangunan non kehutanan maupun industri kehutanan merupakan ancaman serius terhadap kehidupan gajah dan ekosistemnya. Ancaman lain yang tidak kalah serius adalah konflik berkepanjangan dengan pembangunan dan perburuan ilegal gading gajah.
1.      Ancaman terhadap Habitat
a.       Kehilangan Habitat
            Tingginya kerusakan hutan di Indonesia (khususnya di Sumatera dan Kalimantan) mengakibatkan hilangnya sebagian besar hutan dataran rendah yang juga merupakan habitat potensial bagi gajah. Diperkirakan laju kerusakan hutan pada tahun 1985 hingga 1997 sebesar 1 juta hektar dan meningkat hingga 1.7 juta hektar pada akhir 1980-an (Holmes, 2001).
             Apabila kita anggap laju kerusakan hutan konstan maka pada periode tahun 1997-2001, Indonesia telah kehilangan sekitar 5 juta hektar hutan (Whitten et al, 2001). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, deforestasi sebagian besar terjadi terjadi akibat konversi untuk kegiatan pembangunan non kehutanan seperti perkebunan, infrastruktur, pembangunan pemukiman baru, serta pembangunan industri kehutanan yang tidak dapat dihindari.
b.      Fragmentasi Habitat
            Pembangunan seringkali sulit menyelaraskan atau menghindari benturan dengan kegiatan pelestarian alam atau konservasi sumber daya alam hayati. Pembangunan infrastruktur misalnya sering membelah ekosistem dan habitat gajah yang menghendaki luasan yang besar dan kompak. Di beberapa daerah, pembangunan bahkan tidak sesuai atau mendahului tata ruang daerah tersebut sehingga merusak daerah-daerah perlindungan alam.
             Bagi satwa liar seperti gajah yang menghendaki habitat dan areal jelajah yang luas, fragmentasi habitat akan menyebabkan pengurangan ruang gerak sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup dari sisi ekologisnya sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik antara satwa tersebut dengan kegiatan pembangunan di sekitar habitatnya.
c.       Degradasi Habitat
             Degradasi habitat juga merupakan ancaman utama bagi habitat gajah. Kebakaran hutan, kemarau panjang yang mengakibatkan berkurangnya sumber air, penggembalaan hewan ternak yang berlebihan, penebangan hutan baik legal maupun ilegal dapat mengurangi sumber daya pakan gajah di habitat aslinya secara signifikan. Degradasi habitat juga dapat terjadi karena aktivitas manusia yang mengintroduksi spesies eksotik yang dapat berdampak negatif terhadap komposisi vegetasi (misalnya: Acacia Nilotica).

2.      Konflik antara Manusia dan Gajah
       Konflik Manusia dan Gajah (KMG) merupakan masalah yang signifikan dan ancaman yang serius bagi konservasi gajah Sumatera dan Kalimantan. Akibat konflik dengan manusia, gajah mati diracun, ditangkap dan dipindahkan ke Pusat Konservasi Gajah yang mengakibatkan terjadinya kepunahan lokal (misalnya di Provinsi Riau). Di sisi lain, KMG juga mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi manusia. Kerusakan tanaman, terbunuhnya manusia, dan kerusakan harta benda sering terjadi akibat konflik dengan gajah. Dari ketiga jenis KMG tersebut yang paling sering terjadi adalah kerusakan tanama (crop raiding) oleh gajah.
       Secara garis besar, kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh gajah dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu kerusakan tanaman yang terjadi akibat gajah kebetulan menemukan lahan pertanian yang berada di dalam atau berdekatan dengan daerah jelajahnya (opportunistic raiding) dan kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh gajah yang keluar dari habitatnya akibat kerusakan habitat, fragmentasi habitat, ataupun degradasi habitat yang parah (obligate raiding).
       Kerusakan tanaman oleh gajah juga diduga oleh tingginya tingkat kesukaan (palatability) gajah terhadap jenis tanaman yang ditanam oleh petani (Sukumar, 2003). Beberapa tanaman yang sering mengalami gangguan gajah adalah padi, jagung, pisang, singkong, dan kelapa sawit (Sitompul, 2004 ; Fadhli, 2004). Nilai kerusakan ekonomi yang ditimbulkan oleh gajah terlihat bervariasi di setiap daerah. Hasil penelitian WCS di Lampung pada tahun 2000 menunjukkan bahwa nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh gajah sangat tidak signifikan (<10% dari hasil panen per desa). Namun kerugian ini sangat signifikan apabila harus ditanggung per individu petani (Sitompul, 2004).
       Untuk dapat menyelesaikan KMG perlu pendekatan dari berbagai dimensi (multi-dimension approach) dan dilakukan dengan sinergi oleh berbagai pemangku kepentingan (multi-stakeholder approach). Pendekatan dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial harus disinergikan sehingga upaya mitigasi konflik dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan.     

3.      Perburuan Ilegal Gading Gajah
       Konflik gajah dan manusia, tingkat kemiskinan penduduk di sekitar habitat gajah dan permintaan pasar ilegal gading gajah secara komersial menjadi pendorong utama dalam terjadinya pemburuan gading gajah secara ilegal. Aktifitas ini dirasakan  semakin meningkat dari tahun ke tahun terutama di Sumatera. Namun demikian, hingga saat ini belum ada data akurat yang menjelaskan tingkat ancaman perburuan bagi gajah Sumatera dan Kalimantan. Selain itu monitoring dan analisis modeling akan dampak perburuan terhadap populasi gajah sangat jarang dilakukan.
       Kekhawatiran akan meningkatnya tingkat perburuan dan perdagangan ilegal gading gajah ternyata juga dirasakan oleh negara-negara lain yang memiliki populasi gajah yang cukup besar di Asia (misalnya India, Srilanka, dan Thailand). Kekhawatiran ini muncul setelah CITES membuka perdagangan gading untuk empat negara di Afrika bagian selatan (Afrika Selatan, Botswana, Namibia, dan Zimbabwe). Dengan dibukanya perdagangan gading secara legal untuk negara-negara di Afrika tersebut maka dapat mendorong masuknya gading gajah Asia secara ilegal di pasar gelap. Hal ini sangat mungkin terjadi karena perbedaan gading gajah Asia dan Afrika sangat sulit dideteksi perbedaannya.
       Contoh kasus yang terjadi di sekitar TN Bukit Barisan Selatan, terdapat 12 pemburu dan cukong gading yang telah menjual 1.260 kg gading sejak tahun 2003. Jumlah gading ini setara dengan membunuh 47 ekor gajah. Di Way Kambas, terdapat 19 orang pemburu, cukong, dan pengrajin gading yang mampu menjual 1.785 kg gading sejak tahun 2003. Jumlah ini setara dengan membunuh 52 ekor gajah. Perburuan gajah itu sendiri dilakukan di wilayah Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Riau (Adhiasto, 2007).

C.     Konservasi In-Situ Gajah Sumatera dan Kalimantan

1.      Pengertian Konservasi In-Situ      
       Konservasi in-situ (di dalam kawasan) adalah konservasi flora, fauna, dan ekosistem yang dilakukan di dalam habitat aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami. Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi in-situ dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), zona inti taman nasional, dan hutan lindung.
       Kawasan suaka margasatwa yaitu kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Kawasan suaka margasatwa di Indonesia yang melindungi gajah adalah suaka margasatwa Gunung Leuser di Aceh, suaka margasatwa Sumatera Selatan, dan suaka margasatwa Way Kambas di Lampung.  
2.      Status Populasi dan Distribusi
       Populasi gajah Sumatera tersebar di tujuh provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara itu, gajah Kalimantan hanya terdapat di satu provinsi yaitu Kalimantan Timur. Sekalipun satwa ini tergolong dalam prioritas konservasi yang tinggi, ternyata sampai dengan saat ini kajian dan analisa distribusi dan populasi kedua satwa ini belum dilakukan secara komprehensif dan menggunakan metode ilmiah yang baku. Para otoritas pengelola gajah di Indonesia, Departemen Kehutanan, hanya memperkirakan populasi gajah di alam dengan menggunakan metoda ekstrapolasi dari beberapa observasi langsung dan informasi dari para petugas lapangan yang bekerja di Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Dinas Kehutanan.
       Pada tahun 1980-an, pernah dilakukan survei gajah di seluruh Sumatera dengan menggunakan metode penaksiran secara cepat (rapid assessment survey). Hasil survei tersebut memperkirakan populasi gajah Sumatera berjumlah 2800-4800 individu dan tersebar di 44 lokasi (Blouch dan Haryanto, 1984 ; Blouch dan Simbolon, 1985). Hasil survei ini tidak pernah diperbaharui secara sistematis kecuali di provinsi Lampung yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) pada tahun 2000 (Hedges et al, 2005). Hasil penelitian yang komprehensif di provinsi ini menunjukkan bahwa provinsi Lampung telah kehilangan 9 kantong populasi dari 12 kantong yang ditemukan pada tahun 1980 (Hedges et al, 2005).
       Hingga saat ini, hanya ada dua populasi gajah sumatera yang diketahui jumlahnya berdasarkan survei yang sistematis pada tahun 2000 yaitu, populasi gajah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebanyak 498 individu dan Taman Nasional Way Kambas (Hedges et al, 2005).
       Khusus untuk gajah Kalimantan, pada tahun 2000 dan 2001, yayasan World Wide Fund for Nature-Indonesia (WWF-Indonesia) telah melakukan survei untuk mengkaji populasi dan distribusi gajah di Kabupaten Nunukan, namun survei yang dilakukan hanya melihat keberadaan umum populasi gajah di daerah tersebut.
       Dalam pertemuan Lokakarya Gajah dan Harimau pada bulan Agustus 2007, para pemerhati gajah di Indonesia menyadari bahwa informasi akurat untuk mengukur jumlah populasi gajah di Sumatera dan Kalimantan sangat sukar diperoleh. Oleh karenanya dilakukan estimasi sementara jumlah populasi gajah Sumatera berkisar antara 2400-2800 individu dan jumlah populasi gajah Kalimantan berkisar antar 60-100 individu.
       Apabila diasumsikan, perkiraan ini memiliki tingkat keakuratan yang sama dengan perkiraan yang pernah dilakukan pada tahun 1990-an maka populasi gajah Sumatera telah mengalami kepunahan sekitar 35% dari tahun 1992, dan nilai ini merupakan penurunan yang sangat besar dalam waktu pendek.
       Data populasi dan distribusi yang kurang akurat dan sudah terlalu lama akan menyulitkan banyak pihak khususnya para petugas lapangan pengelola taman nasional dan juga para pemegang keputusan dalam menentukan dan mengalokasikan kawasan-kawasan yang diperlukan untuk prioritas konservasi gajah dan pembangunan nasional di kedua pulau tersebut.
       Beberapa hal yang selama ini dirasakan menjadi faktor pembatas dalam penentuan status populasi dan distribusi adalah tingginya investasi sumber daya manusia, finansial, dan waktu yang dibutuhkan. Argumentasi ini sebenarnya dapat diatasi dengan cara membangun kolaborasi yang sinergis antara para pihak yang berkepentingan, terutama pihak yang menggunakan lahan hutan untuk sektor pertanian, industri kehutanan, pertambangan, pemerintah pusat dan daerah dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi gajah.
3.      Habitat dan Tingkah Laku
       Gajah Sumatera dan Kalimantan merupakan sub spesies gajah Asia yang umumnya hidup di daerah dataran rendah, dan tinggi di kawasan hutan hujan tropika pulau Sumatera dan Kalimantan.
     Satwa ini merupakan spesies yang hidup dengan pola matriarchal yaitu hidup berkelompok dan dipimpin oleh betina dewasa dengan ikatan sosial yang kuat. Studi di India menunjukkan populasi gajah memiliki pergerakan musiman berkelompok dalam jumlah 50-200 individual (Sukumar,1989).
     Hingga saat ini diketahui bahwa 85% populasi gajah di Sumatera dan Kalimantan berada di luar kawasan konservasi. Kondisi ini menyulitkan para pengelola untuk melakukan manajemen konservasi gajah karena adanya tumpang tindih kegiatan dan perbedaan usulan alokasi peruntukan lahan dari pihak-pihak lain.
     Kelompok gajah bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lain, dan memiliki daerah jelajah yang terdeterminasi mengikuti ketersediaan makanan tempat, berlindung, dan berkembang biak. Luasan daerah jelajah akan sangat bervariasi tergantung dari ketiga faktor tersebut.
     Untuk mengetahui kondisi habitat yang ideal bagi gajah Sumatera dan Kalimantan diperlukan pengetahuan tentang perilaku sosial, pola pergerakan dan kebutuhan ekologinya. Pergerakan musiman gajah adalah merupakan daerah jelajah yang rutin dan daerah jelajah suatu kelompok gajah dapat tumpang tindih dengan daerah jelajah kelompok lainnya.

     Untuk memenuhi kebutuhan spasial suatu kelompok gajah diperlukan informasi yang akurat tentang daerah jelajah kelompok gajah dan juga pergerakan musimannya. Gajah jantan dapat hidup secara sendiri atau bergabung dengan jantan lainnya membentuk kelompok jantan. Kelompok jantan memiliki daerah jelajah yang tumpang tindih atau bersinggunggan dengan daerah jelajah kelompok betina atau jantan lainnya.
     Usia aktif bereproduksi pada gajah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, ketersediaan sumber daya pakan, dan faktor ekologinya (misalnya kepadatan populasi). Gajah siap bereproduksi pada usia antara 10-112 tahun (Ishwaran, 1993).
     Masa kehamilan berkisar antara 18-23 bulan dengan rata-rata sekitar 21 bulan dan jarak antar kehamilan betina sekitar 4 tahun (Sukumar, 2003). Dari data ini dapat diperkirakan apabila usia maksimal gajah betina sekitar 60 tahun, maka semasa hidupnya akan bereproduksi maksimal sekitar 7-8 kali. Kemampuan gajah bereproduksi cecara alami yang rendah dikombinasikan dengan kebutuhan akan habitat yang luas dan kompak membuat mereka sangat rentan terhadap kepunahan. Oleh karena itu, upaya konservasi gajah di alam selain harus memperhatikan keutuhan dan integritas habitat juga harus memperhatikan aspek dinamika populasinya.

D.    Konservasi Ex-Situ Gajah Sumatera dan Kalimantan
1.        Pengertian Konservasi Ex-Situ
                 Konservasi ex-situ (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan cara pengumpulan jenis, pemeliharaan dan budidaya (penangkaran). Konservasi ex-situ dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun botani, taman hutan raya, kebun raya, penangkaran satwa, taman safari, taman kota, dan taman burung. Cara ex-situ merupakan suatu cara memanipulasi obyek yang dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik.
2.        Sejarah Pengelolaan
                 Gajah captive memiliki sejarah yang panjang dan merupakan suatu permasalahan yang penting bagi konservasi gajah di Indonesia. Gajah captive di Indonesia mulai dikelola pada tahun 1980-an, pada saat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) melakukan penangkapan gajah liar untuk mengurangi konflik gajah dengan manusia. Konsep pengelolaan gajah oleh pemerintah Indonesia pada saat itu adalah Tiga Laman yaitu terdiri dari Bina Laman, Tata Laman, dan Guna Laman. Tata Liman merupakan kegiatan menata kembali populasi gajah yang terpecah sebagai akibat kegiatan pembangunan dengan jalan mentranslokasikannya dari areal sekitar kegiatan pembangunan ke aarah kawasan yang disediakan untuk gajah. Bina Liman diperuntukkan untuk meningkatkan harkat hidup gajah sehingga tidak hanya sebagai satwa perusak saja melainkan dapat diterima sebagai satwa yang berguna dan dapat dicintai oleh manusia. Guna Liman adalah upaya dalam bentuk pemanfaatan gajah-gajah yang sudah ada di PLG untuk digunakan semaksimal mungkin dalam membantu konservasi gajah dan juga dapat berperan sebagai sarana pendidikan konservasi dan hiburan.
                 Pada periode tahun 1986 hingga 1995, lebih kurang 520 ekor gajah telah ditangkap untuk mengatasi konflik manusia dan gajah. Gajah yang ditangkap ditempatkan di 6 Pusat Latihan Gajah (PLG) di Sumatera. Pengelolaan gajah dengan konsep tersebut kemudian direvisi oleh pemerintah Indonesia karena tidak berkesinambungan dan dapat mempengaruhi kelestarian gajah di habitat aslinya. Selain itu, konsep Tiga Laman juga mengakibatkan terjadinya penumpukan gajah di PLG yang konsekuensinya mengakibatkan pengelolaan PLG membutuhkan dana yang sangat besar. Pemerintah Indonesia kemudian mencoba mengembangkan pengelolaan gajah captive dengan pendekatan baru yang inovatif dan berusaha untuk tidak menangkap gajah liar di alam sebagai salah satu upaya penanggulangan konflik.        
3.        Pengelolaan Gajah Captive (Ex-Situ)
                 Pengelolaan gajah captive di Indonesia sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Namun demikian pemerintah juga melakukan kerjasama dengan lembaga konservasi dari dalam dan luar negeri untuk memperbaiki manajemen yang sudah ada. Beberapa hal yang telah dilakukan pemerintah dengan mitranya dalam pengelolaan gajah jinak di Indonesia :
a.       Mitigasi konflik gajah-manusia, gajah captive digunakan untuk menangani konflik gajah-manusia di daerah-daerah yang sering mengalami konflik. Gajah jinak digunakan untuk menggiring gajah liar kembali ke habitatnya.
b.      Registrasi, kegiatan registrasi gajah captive dengan menggunakan microchip. Hingga saat ini proses registrasi telah dilakukan  di sebagian besar populasi gajah captive di Sumatera. Diperkirakan sekitar 174 ekor (36%) dari seluruh gajah yang ada di PLG sudah diregistrasi. 
c.       Penelitian ekologi, kegiatan penelitian ekologi gajah telah dilakukan untuk mengetahui jenis pakan gajah di alam serta untuk mengetahui hubungan kandungan nutris pakan dan perilaku pakan.
d.      Kegiatan konservasi, gajah captive telah digunakan untuk berbagai kegiatan konservasi termasuk patroli, perlindungan habitat, monitoring, dan survei satwa liar lain.
e.       Pendidikan konservasi, gajah captive merupakan alat penting yang digunakan untuk menyampaikan pesan konservasi.
f.       Ekoturisme, kegiatan ekoturisme adalah kegiatan mengelilingi kawasan sekitar dengan gajah. Kegiatan ini yang paling banyak dilakukan di hampir semua PKG dan diharapkan dapat membantu pengelolaan PKG secara mandiri

E.     Strategi Konservasi Gajah dalam Pengelolaan Habitat Gajah
Hal yang perlu dilakukan untuk melindungi habitat gajah adalah :
1. Memahami, memonitor, dan mempublikasikan kondisi seluruh habitat gajah, serta daerah jelajahnya sehingga dapat diketahui masyarakat dan aktor pembangunan untuk menghindari kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan konflik dengan gajah.
2. Meminimalisasi kehingan habitat dengan menghindari kegiatan pembangunan di sekitar kawasan populasi gajah dan daerah jelahnya.
3. Membangun koridor-koridor pada habitat gajah yang terputus akibat aktivitas pembangunan. Perlu dilakukan pengintegrasian habitat dan daerah jelajah dalam tata ruang, perencanaan pembangunan, dan pengelolaan konsensi.
4. Mengembangkan konsep “Manage Elephant Range” dengan melakukan pengelolaan habitat oleh multi pemangku kepentingan secara terpadu terutama di luar kawasan konservasi (areal HPH, HTI, perkebunan, pertambangan, dan lahan masyarakat).
5. Melaksanakan program restorasi dan rehabilitasi habitat gajah untuk meningkatkan daya dukung habitat.
6. Melaksanakan studi intensif pada ekologi pakan (dietary ecology), pola pergerakan (movement), dan penggunaan habitat (habitat use) untuk mengoptimalkan intervensi manajemen konservasi gajah.
7. Mensinergikan habitat dan koridor gajah dalam program tata ruang dan pembangunan nasional, provinsi serta kabupaten / kota di Sumatera dan Kalimantan.

BAB III
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

A.    Kesimpulan
            Gajah Sumatera dan Kalimantan hampir punah. Kini, jumlah gajah Sumatera sekitar 1800 ekor sedangkan gajah Kalimantan hanya berjumlah 80 ekor. Penyebab berkurangnya populasi gajah adalah perburuan liar gajah, alih fungsi lahan yang menyebabkan hilangnya habitat gajah, serta tingginya konflik dengan manusia.
             Upaya untuk menjaga gajah dari kepunahan adalah dengan konservasi, baik in-situ maupun ex-situ. Konservasi in-situ (di dalam kawasan) adalah konservasi flora, fauna, dan ekosistem yang dilakukan di habitat aslinya. Kawasan untuk konservasi in-situ gajah di Indonesia adalah suaka margasatwa Gunung Leuser di Aceh, suaka margasatwa Sumatera Selatan, dan suaka margasatwa Way Kambas di Lampung. Sedangkan konservasi ex-situ adalah upaya konservasi dengan menjaga satwa atau tumbuhan diluar habitatnya. Konservasi ex-situ gajah dilakukan di kebun binatang, taman safari, dan penangkaran satwa.

B.     Implikasi
            Hasil penulisan tentang hubungan antara manusia dengan satwa langka gajah yang menyebabkan berkurangnya gajah secara signifikan, merupakan bukti akan pentingnya konservasi pada gajah untuk mengurangi tingkat perburuan dan konflik dengan gajah guna mencegah kepunahan pada gajah.









DAFTAR PUSTAKA


Bakri. (2014, 19 Mei). Mengungkap Mafia Gading Gajah. Serambi Indonesia. Diperoleh 17 Oktober           2014, dari http://aceh.tribunnews.com/2014/05/19/mengungkap-mafia-gading-gajah.
Blake, S., Hedges, S. (2004). Sinking the Flagship : the Case of Forest Elephants in Asia and Africa.             Conservation Biology Journal, 18 (5), 1191-1202.
Departemen Kehutanan. (2007). Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007-2017. Diperoleh 17 Oktober 2014, dari http://vesswic.com/
Dwi, N., Yudarini, I. G., Widyastuti, S. (2013). Tingkah Laku Harian Gajah Sumatera di Bali Safari             dan Marine Park. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus, 2 (4), 461-468.
Fadillah, R., Yoza, D., Sribudiani, E. (2014). Sebaran dan Perkiraan Produksi Pakan Gajah di Sekitar           Duri Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Jom Faperta, 1 (2).
Kinnaird, M. F., Sanderson, E. W. (2003) Deforestation Trends in a Tropical Landscape and            Implications for Endangered Large Mammals. Biological Conservation Journal, 17 (1).
Mahanani, A. I. (2012). Strategi Konservasi Gajah Sumatera di Suaka Margasatwa Sugihan Provinsi         Sumatera Selatan berdasarkan Daya Dukung Habitat. UNDIP.
Meytasari, P., Bakri, S., herwanti, S. (2014). Penyusunan Kriteria Domestik dan Evaluasi Praktek     Pengasuhan Gajah di Taman Nasional Way Kambas. Jurnal Sylva Lestari, 2 (2), 79-88.
Nyhus, P. J., Sumianto, R. T. (2008). Crop-Raiding Elephants and Conservation Implications at Way           Kambas National Park, Sumatera, Indonesia. Oryx Journal, 34 (4), 262-274.
Santiapillai, C., Jackson, P. (1990). The Asian Elephant An Action Plan for its Conservation.            Switzerland : IUCN.
Suhandri, dkk. (2010). Analisa Konservasi Gajah Sumatera di Kantong Balai Raja (Blok Libo),        Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Syarifuddin, H. (2008). Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera di Kawasan Seblat        Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 11 (1).
Tyson, M. J., Kinnaird, M. F. (2005). Distribution, Status, and Conservation Needs of Asian             Elephants in Lampung, Indonesia. Biological Conservation Journal, 124 (1), 35-48  
Utomo, Y. W. (2014, 14 April). Gajah Sumatera Hampir Punah. Diperoleh 17 Oktober 2014, dari             http://sains.kompas.com/read/2014/04/14/2120386/Gajah.Sumatera.Hampir.Punah.

Zannah, Syarifatul. (2014). Peran WWF dalam Konservasi Gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso           Nilo, Riau. Journal Ilmu Hubungan Internasional, 2 (1), 195-208.

2 komentar:

  1. Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia dan populasi gajah berkurang lebih cepat dibandingkan dengan jumlah hutannya.
    LukQQ
    Situs Ceme Online
    Agen DominoQQ Terbaik
    Bandar Poker Indonesia

    BalasHapus
  2. BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN BANK
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN OVO
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN GOPAY
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN DANA
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN SAKUKU
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN PULSA
    BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN LINKAJA

    Promo Spesial :
    • Bonus 100% (Khusus Casino Sexy Baccarat & Sabung Ayam)
    • Bonus Deposit Pertama Sebesar 10%
    • Bonus Deposit Harian Sebesar 5%
    • Bonus Rollingan 0.8% Setiap Minggu
    • Bonus Referensi ajak teman 7% + 2% (Seumur Hidup)

    LINK RESMI PENDAFTARAN » http://159.89.197.59/register/
    KONTAK WA RESMI » https://bit.ly/kontak24jam

    1#Livechat Bolavita
    2#Livechat Bolavita

    BalasHapus