BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Gajah Sumatera dan
gajah Kalimantan adalah sub-spesies gajah Asia, dan semua gajah Asia
digolongkan sebagai satwa yang terancam punah dalam daftar merah spesies
terancam yang dirilis oleh Lembaga Konservasi Dunia IUCN. Ancaman utama bagi gajah Sumatera dan gajah
Kalimantan adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan
yang tidak berkelanjutan dan disusul akibat perburuan, serta perdagangan liar.
Pulau Sumatera
merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia
dan populasi gajah berkurang lebih cepat dibandingkan dengan jumlah hutannya.
Penyusutan atau hilangnya habitat satwa besar ini telah memaksa gajah untuk
masuk ke kawasan penduduk sehingga memicu konflik antara manusia dengan gajah,
yang sering berakhir dengan kematian gajah dan manusia, serta kerusakan lahan.
Pengembangan
industri pulp dan kertas serta industri kelapa sawit juga merupakan pemicu
hilangnya habitat gajah di Sumatera. Pembangunan perkebunan sawit mendorong
terjadinya konflik antara manusia dengan gajah yang semakin hari kian memuncak.
Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah, dan kerusakan yang
ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan pembunuhan yang umumnya dilakukan dengan
peracunan dan penangkapan.
Perburuan gajah di
Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Hewan langka dilindungi tersebut sering
ditemukan mati dalam kondisi gading yang hilang. Gading gajah merupakan salah
satu aset berharga yang terus menjadi perburuan. Banyak perhiasan dan berbagai
macam kerajinan tangan seperti ukiran dibuat dari gading gajah ini. Harganya
pun mencapai puluhan juta, karenanya banyak orang yang tergiur untuk
mengambilnya meski harus dengan membunuh gajah tersebut.
Dalam tujuh tahun
terakhir, konflik antara manusia, pembangunan ekonomi, serta gajah Sumatera dan
Kalimantan meningkat dengan pesat. Oleh
karena itu, dalam upaya menyelesaikan permasalahan gajah di Indonesia,
pemerintah dan para pihak terkait termasuk pemerhati gajah melakukan kajian dan
menetapkan strategi dan rencana aksi konservasi gajah Indonesia.
Melindungi kawasan
hutan yang tersisa merupakan hal yang sangat penting agar kelangsungan hidup
populasi gajah dapat terus berlanjut. Koridor-koridor satwa liar dalam kawasan
hutan harus dipertahankan atau diciptakan kembali sehingga dapat menyediakan
wilayah yang aman bagi gajah untuk memperoleh sumber-sumber makanan baru dan
berkembang biak.
B.
Tinjauan
Pustaka
1)
Gajah
Sumatera (Elephas maximus sumatranus)
Gajah
adalah mamalia darat terbesar yang merupakan salah satu satwa peninggalan zaman
purba yang masih bertahan hidup di dunia dengan penyebaran yang sangat
terbatas. Spesies ini terdaftar dalam red list book IUCN (The World
Conservation Union), dengan status terancam punah, sementara itu CITES (Convention
on International trade of Endangered Fauna and Flora) telah mengkategorikan
gajah Asia dalam kelompok Appendix I (Suara Satwa, 2008).
Secara
umum, gajah hanya terbagi menjadi 2 spesies utama yaitu gajah Afrika (Loxodonta
Africana) dan gajah Asia (Elephas Maximus). Gajah Asia berbeda dari
saudaranya gajah Afrika, karena ukuran tubuh dan telinganya lebih kecil,
punggungnya lebih bundar, dan memiliki empat kuku di jari kaki. Yang sangat
menarik adalah telinga gajah Asia berbentuk mirip dengan pola dataran India,
sedangkan telinga gajah Afrika berbentuk benua Afrika. Secara umum gajah Asia
memiliki tiga sub-spesies, salah satunya adalah gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus) yang hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatera, Indonesia
(Suara Satwa, 2008).
Gajah
Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari
sub-spesies gajah Asia. Dua sub-spesies yang lainnya yakni Elephas Maximus
Maximus dan Elephas Maximusindicus hidup di anak benua India, Asia
Tenggara dan Borneo (Hamid, 2001).
Satwa
ini merupakan spesies yang hidup dengan pola matriarchal yaitu hidup
berkelompok dan dipimpin oleh betina dewasa dengan ikatan sosial yang kuat.
Studi di India menunjukkan populasi gajah memiliki pergerakan musiman
berkelompok dalam jumlah 50-200 individual (Sukumar,1989).
Pada
musim kemarau, gerombolan gajah yang terdiri dari 20-60 ekor biasanya bergerak
melalui jalur jelajah alaminya untuk mencari pakan dari hutan-hutan dataran
tinggi menuju hutan-hutan dataran rendah. Pergerakan sebaliknya dilakukan pada
musim hujan (Wiranto, dkk. 2004).
2)
Persebaran
Gajah di Indonesia
Populasi
gajah Sumatera tersebar di tujuh provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam,
Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara
itu, gajah Kalimantan hanya terdapat di satu provinsi yaitu Kalimantan Timur.
Sekalipun satwa ini tergolong dalam prioritas konservasi yang tinggi, ternyata
sampai dengan saat ini kajian dan analisa distribusi dan populasi kedua satwa
ini belum dilakukan secara komprehensif dengan menggunakan metode ilmiah yang
baku. Para otoritas pengelola gajah di Indonesia, Departemen Kehutanan, hanya
memperkirakan populasi gajah di alam dengan menggunakan metoda ekstrapolasi
dari beberapa observasi langsung dan informasi dari para petugas lapangan yang
bekerja di Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Dinas
Kehutanan (Suara Satwa, 2008).
Dalam
pertemuan Lokakarya Gajah dan Harimau pada bulan Agustus 2007, para pemerhati
gajah di Indonesia menyadari bahwa informasi akurat untuk mengukur jumlah
populasi gajah di Sumatera dan Kalimantan sangat sukar diperoleh. Oleh
karenanya dilakukan estimasi sementara jumlah populasi gajah Sumatera berkisar
antara 2400-2800 individu dan jumlah populasi gajah Kalimantan berkisar antara
60-100 individu (Dirjen PHKA, 2007).
Apabila
diasumsikan perkiraan ini memiliki tingkat keakuratan yang sama dengan
perkiraan yang pernah dilakukan pada tahun 1990-an maka populasi gajah Sumatera
telah mengalami penurunan sekitar 35% dari tahun 1992, dan nilai ini merupakan
penurunan yang sangat besar dalam waktu yang relatif pendek. Data populasi dan
distribusi yang kurang akurat dan sudah terlalu lama akan menyulitkan banyak
pihak khususnya para petugas lapangan pengelola taman nasional dan juga para
pemegang keputusan dalam menentukan dan mengalokasikan kawasan-kawasan yang
diperlukan untuk prioritas konservasi gajah dan pembangunan nasional di kedua
pulau tersebut (Dirjen PHKA, 2007).
3)
Permasalahan
Gajah di Indonesia
Laju
pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Pulau Sumatera,
secara langsung telah memberikan pengaruh signifikan pada terjadinya
pengurangan populasi gajah Sumatera di alam. Dampak pengurangan terbesar pada
keberadaan populasi gajah di alam selain karena adanya perburuan, juga
disebabkan oleh semakin berkurangnya luasan habitat gajah. Pengurangan habitat
gajah secara nyata ini karena berubahnya habitat gajah sumatera menjadi
perkebunan monokultur skala besar (sawit, karet, dan kakao) yang telah
menggusur habitat gajah sumatera. Selain itu, hal ini juga telah membuat gajah
terjebak dalam blok-blok kecil hutan yang tidak cukup untuk menyokong kehidupan
gajah untuk jangka panjang, di sisi lain hal ini juga yang menjadi pemicu
terjadinya konflik antara manusia dengan gajah. Untuk itu, perlu adanya
penanganan khusus terutama untuk menghindarkan gajah dari kepunahan dan juga
konflik dengan manusia (Suara Satwa, 2008).
4)
Konsep
Konservasi
Konservasi
diartikan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dengan
berpedoman pada asas pelestarian. Sumber daya alam adalah unsur-unsur hayati
yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam
hewani (satwa) dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan
membentuk ekosistem (KEHATI, 2000).
Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konservasi sumber daya alam adalah
pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana
dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keragamannya (Departemen Pendidikan Nasional, 2005).
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya Pasal 1 Nomor 5 Tahun 1990 yaitu bertujuan mengusahakan
terwujudnya kelestariaan sumber daya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Departemen Kehutanan, 2000).
Pada
dasarnya konservasi merupakan suatu perlindungan terhadap alam dan makhluk
lainnya. Sesuatu yang mendapat perlindungan maka dengan sendiri akan terwujud
kelestarian.
Konservasi
menurut KEHATI dapat diwujudkan dengan melalui :
a.
Terjaganya
kondisi alam dan lingkungannya, berarti upaya konservasi dilakukan dengan
memelihara agar kawasan konservasi tidak rusak.
b.
Terhindarnya
bencana akibat perubahan alam, yang berarti gangguan-gangguan terhadap flora
fauna dan ekosistemnya pada khususnya serta sumber daya alam pada umumnya
menyebabkan perubahan berupa kerusakan maupun penurunan jumlah dan mutu sumber
daya alam tersebut.
c.
Terhindarnya
makhluk hidup dari kepunahan, berarti jika gangguan-gangguan penyebab turunnya
jumlah dan mutu makhluk hidup terus dibiarkan tanpa upaya pengendalian akan
berakibat makhluk hidup tersebut menuju kepunahan bahkan punah sama sekali.
d.
Mampu
mewujudkan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun makro, berarti dalam
ekosistem terdapat hubungan yang erat antara makhluk hidup maupun dengan
lingkungannya.
e.
Mampu
memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, berarti upaya konservasi sebagai
sarana pengawetan dan pelestarian flora dan fauna merupakan penunjang budidaya,
sarana untuk mempelajari flora dan fauna yang sudah punah maupun belum punah
dari sifat, potensi, maupun penggunaannya.
f.
Mampu
memberi kontribusi terhadap kepariwisataan, berarti ciri-ciri dan obyeknya yang
karakteristik merupakan kawasan ideal sebagai sarana rekreasi atau wisata alam.
Kekayaan flora dan fauna merupakan potensi yang
dapat dimanfaatkan sampai batas-batas tertentu yang tidak mengganggu
kelestarian. Penurunan jumlah dan mutu kehidupan flora dan fauna dikendalikan
melalui kegiatan konservasi secara in-situ maupun ex-situ.
a.
Konservasi
in-situ (di dalam kawasan) adalah konservasi flora, fauna, dan ekosistem yang
dilakukan di dalam habitat aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan
yang terjadi berjalan secara alami. Kegiatan ini meliputi perlindungan
contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut beserta flora fauna di
dalamnya. Konservasi in-situ dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar
alam dan suaka margasatwa), zona inti taman nasional, dan hutan lindung.
b.
Konservasi
ex-situ (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang dilakukan dengan menjaga
dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan
cara pengumpulan jenis, pemeliharaan dan budidaya (penangkaran). Konservasi
ex-situ dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun botani,
taman hutan raya, kebun raya, penangkaran satwa, taman safari, taman kota, dan
taman burung. Cara ex-situ merupakan suatu cara memanipulasi obyek yang
dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang
hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik.
c.
Regulasi
dan penegakan hukum adalah upaya-upaya mengatur pemanfaatan flora dan fauna
secara bertanggungjawab. Kegiatan konkritnya berupa pengawasan lalu lintas
flora dan fauna, penetapan kuota dan penegakan hukum serta pembuatan peraturan
dan undang-undang di bidang konservasi.
d.
Peningkatan
peran serta masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat
dalam konservasi sumber daya alam hayati. Program ini dilaksanakan melalui
kegiatan pendidikan dan penyuluhan. Dalam hubungan ini dikenal adanya kelompok
pecinta alam, kader konservasi, kelompok pelestari sumber daya alam, Lembaga
Swadaya Masyarakat, dan lain-lainnya (Sukamade, 1997).
5)
Pengertian
Kawasan Suaka Alam
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68
Tahun 1999 dinyatakan bahwa kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas
tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya
yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga.
Klasifikasi
kawasan suaka alam menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 :
a)
Kawasan
cagar alam, yaitu kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai
kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu perlu
dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
b)
Kawasan
suaka margasatwa, yaitu kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya
dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Kriteria
kawasan suaka margasatwa :
1.
Merupakan
tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya
konservasinya.
2.
Memiliki
keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi.
3.
Merupakan
habitat dari suatu jenis langka dan dikhawatirkan akan punah.
4.
Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis
satwa migran tertentu.
5.
Mempunyai
luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.
6)
Fungsi
dan Sistem Pengelolaan Kawasan Suaka Margasatwa
Kawasan suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk :
1.
Penelitian
dan pengembangan meliputi penelitian dasar serta penelitian untuk pemanfaatan
dan budidaya.
2.
Ilmu
pengetahuan dan pendidikan, dapat dilaksanakan dalam bentuk pengenalan dan
peragaan ekosistem suaka margasatwa.
3.
Wisata
alam terbatas, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 disebutkan
bahwa dalam kawasan suaka margasatwa dapat dilaksanakan pengusahaan pariwisata
alam, tetapi hanya dapat dilakukan kegiatan wisata terbatas berupa kegiatan
mengunjungi, melihat, menikmati keindahan keanekaragaman tumbuhan serta satwa
yang ada di dalamnya.
4.
Kegiatan
penunjang budidaya dilakukan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan, dan
penggunaan plasma nutfah tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam kawasan suaka
margasatwa.
Suatu kawasan suaka margasatwa dikelola
berdasarkan rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek
biologis, teknis, ekonomis, dan sosial budaya. Rencana pengelolaan memuat
tujuan pengelolaan dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan,
pengawetan, dan pemanfaatan kawasan.
Upaya
pengawetan kawasan suaka margasatwa dilaksanakan dalam bentuk :
1.
Perlindungan
dan pengamanan kawasan.
2.
Inventarisasi
potensi pakan.
3.
Penelitian
dan pengembangan yang menunjang pengawetan.
4.
Pembinaan
habitat dan populasi satwa melalui kegiatan pembinaan padang rumput, pembuatan
fasilitas air minum dan tempat berkubang atau mandi satwa, penanaman dan
pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon sumber makanan satwa, serta
pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi
Gajah di Indonesia Saat Ini
Gajah Sumatera (Elephas
Maximus Sumatranus) hampir punah dan sebagian berstatus kritis di lebih
dari separuh habitatnya di Sumatera. Alih fungsi lahan dan tingginya konflik
dengan manusia dinilai menjadi penyebab penyusutan drastis populasi gajah. Lembaga
Internasional Union for Conservation of Nature memasukkan gajah Sumatera ke
dalam daftar binatang yang hampir punah karena penyusutannya sangat drastis.
Pada tahun 1985, gajah sumatera masih berjumlah 5000 ekor. Kini, jumlahnya
tersisa hanya 1800-an ekor yang tersebar di Lampung, Aceh, dan Riau.
Data Forum
Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menunjukkan, dari 56 habitat, gajah
dinyatakan punah sejak lima tahun terakhir di 13 lokasi dan berstatus kritis di
11 lokasi. Selain itu, populasi gajah di ambang kritis di 2 lokasi. Lokasi
populasi gajah yang dinyatakan kritis antara lain di Bukit Salero dan Gunung
Raya yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatera
Selatan. Di lokasi itu hanya ada empat gajah, idealnya populasi gajah sebanyak
30-60 ekor per habitat.
Sepanjang
2012-2014 setidaknya 22 ekor gajah ditemukan mati di hutan Aceh. Semua gajah
ini mati dalam kondisi mengenaskan, ada yang ditombak, diracun, masuk dalam
jebakan maut, hingga dibunuh ramai-ramai. Kasus terakhir terjadi pada 11 April
2014, seekor gajah kembali ditemukan tewas mengenaskan di kawasan hutan desa
Teupin Panah, kecamatan Kawai IV, Kabupaten Aceh Barat, yang terjerat perangkap
pemburu gajah liar.
Berkurangnya
populasi gajah di Aceh juga disebabkan perburuan liar gading gajah. Hampir semua
gajah yang mati saat ditemukan sudah tanpa gading. Diduga kuat kematian gajah
di Aceh akibat perburuan gading gajah yang melibatkan mafia yang membentuk
sindikasi.
Kepala Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh, Genman S. Hasibuan tidak
menampik jika berbagai kasus kematian gajah di Aceh melibatkan para sindikat,
dan tindakan tersebut diancam pidana karena melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990.
Sementara itu,
IUCN mengklasifikasikan gajah kerdil Kalimantan atau yang kerap dijuluki “Borneo
Pygmy Elephant” ini dalam kategori genting. Hasil penelitian WWF Indonesia
dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur pada Tahun
2007-2012, memperkirakan populasi gajah kerdil tersebut berada pada kisaran 80
ekor saja, karena keberadaan gajah Kalimantan tersebut kian terusik oleh
perubahan fungsi hutan dan lahan.
B.
Ancaman
Terhadap Kelestarian Gajah di Indonesia
Kehilangan
habitat, fragmentasi habitat, serta menurunnya kualitas habitat gajah karena
konversi hutan atau pemanfaatan sumber daya hutan untuk keperluan pembangunan
non kehutanan maupun industri kehutanan merupakan ancaman serius terhadap
kehidupan gajah dan ekosistemnya. Ancaman lain yang tidak kalah serius adalah
konflik berkepanjangan dengan pembangunan dan perburuan ilegal gading gajah.
1.
Ancaman
terhadap Habitat
a.
Kehilangan
Habitat
Tingginya kerusakan hutan di
Indonesia (khususnya di Sumatera dan Kalimantan) mengakibatkan hilangnya
sebagian besar hutan dataran rendah yang juga merupakan habitat potensial bagi
gajah. Diperkirakan laju kerusakan hutan pada tahun 1985 hingga 1997 sebesar 1
juta hektar dan meningkat hingga 1.7 juta hektar pada akhir 1980-an (Holmes,
2001).
Apabila
kita anggap laju kerusakan hutan konstan maka pada periode tahun 1997-2001,
Indonesia telah kehilangan sekitar 5 juta hektar hutan (Whitten et al,
2001). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, deforestasi sebagian besar terjadi
terjadi akibat konversi untuk kegiatan pembangunan non kehutanan seperti
perkebunan, infrastruktur, pembangunan pemukiman baru, serta pembangunan
industri kehutanan yang tidak dapat dihindari.
b.
Fragmentasi
Habitat
Pembangunan seringkali sulit
menyelaraskan atau menghindari benturan dengan kegiatan pelestarian alam atau
konservasi sumber daya alam hayati. Pembangunan infrastruktur misalnya sering
membelah ekosistem dan habitat gajah yang menghendaki luasan yang besar dan
kompak. Di beberapa daerah, pembangunan bahkan tidak sesuai atau mendahului
tata ruang daerah tersebut sehingga merusak daerah-daerah perlindungan alam.
Bagi
satwa liar seperti gajah yang menghendaki habitat dan areal jelajah yang luas,
fragmentasi habitat akan menyebabkan pengurangan ruang gerak sehingga dalam
memenuhi kebutuhan hidup dari sisi ekologisnya sangat berpotensi untuk
menimbulkan konflik antara satwa tersebut dengan kegiatan pembangunan di
sekitar habitatnya.
c.
Degradasi
Habitat
Degradasi habitat juga merupakan
ancaman utama bagi habitat gajah. Kebakaran hutan, kemarau panjang yang
mengakibatkan berkurangnya sumber air, penggembalaan hewan ternak yang
berlebihan, penebangan hutan baik legal maupun ilegal dapat mengurangi sumber
daya pakan gajah di habitat aslinya secara signifikan. Degradasi habitat juga
dapat terjadi karena aktivitas manusia yang mengintroduksi spesies eksotik yang
dapat berdampak negatif terhadap komposisi vegetasi (misalnya: Acacia
Nilotica).
2.
Konflik
antara Manusia dan Gajah
Konflik
Manusia dan Gajah (KMG) merupakan masalah yang signifikan dan ancaman yang
serius bagi konservasi gajah Sumatera dan Kalimantan. Akibat konflik dengan
manusia, gajah mati diracun, ditangkap dan dipindahkan ke Pusat Konservasi
Gajah yang mengakibatkan terjadinya kepunahan lokal (misalnya di Provinsi
Riau). Di sisi lain, KMG juga mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi
manusia. Kerusakan tanaman, terbunuhnya manusia, dan kerusakan harta benda
sering terjadi akibat konflik dengan gajah. Dari ketiga jenis KMG tersebut yang
paling sering terjadi adalah kerusakan tanama (crop raiding) oleh gajah.
Secara
garis besar, kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh gajah dapat dikategorikan
menjadi dua bagian yaitu kerusakan tanaman yang terjadi akibat gajah kebetulan
menemukan lahan pertanian yang berada di dalam atau berdekatan dengan daerah
jelajahnya (opportunistic raiding) dan kerusakan tanaman yang
diakibatkan oleh gajah yang keluar dari habitatnya akibat kerusakan habitat,
fragmentasi habitat, ataupun degradasi habitat yang parah (obligate raiding).
Kerusakan
tanaman oleh gajah juga diduga oleh tingginya tingkat kesukaan (palatability)
gajah terhadap jenis tanaman yang ditanam oleh petani (Sukumar, 2003). Beberapa
tanaman yang sering mengalami gangguan gajah adalah padi, jagung, pisang,
singkong, dan kelapa sawit (Sitompul, 2004 ; Fadhli, 2004). Nilai kerusakan
ekonomi yang ditimbulkan oleh gajah terlihat bervariasi di setiap daerah. Hasil
penelitian WCS di Lampung pada tahun 2000 menunjukkan bahwa nilai kerugian
ekonomi yang ditimbulkan oleh gajah sangat tidak signifikan (<10% dari hasil
panen per desa). Namun kerugian ini sangat signifikan apabila harus ditanggung
per individu petani (Sitompul, 2004).
Untuk
dapat menyelesaikan KMG perlu pendekatan dari berbagai dimensi (multi-dimension
approach) dan dilakukan dengan sinergi oleh berbagai pemangku kepentingan (multi-stakeholder
approach). Pendekatan dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial harus
disinergikan sehingga upaya mitigasi konflik dapat dilakukan secara optimal dan
berkesinambungan.
3.
Perburuan
Ilegal Gading Gajah
Konflik
gajah dan manusia, tingkat kemiskinan penduduk di sekitar habitat gajah dan
permintaan pasar ilegal gading gajah secara komersial menjadi pendorong utama
dalam terjadinya pemburuan gading gajah secara ilegal. Aktifitas ini
dirasakan semakin meningkat dari tahun
ke tahun terutama di Sumatera. Namun demikian, hingga saat ini belum ada data
akurat yang menjelaskan tingkat ancaman perburuan bagi gajah Sumatera dan
Kalimantan. Selain itu monitoring dan analisis modeling akan dampak perburuan
terhadap populasi gajah sangat jarang dilakukan.
Kekhawatiran
akan meningkatnya tingkat perburuan dan perdagangan ilegal gading gajah
ternyata juga dirasakan oleh negara-negara lain yang memiliki populasi gajah
yang cukup besar di Asia (misalnya India, Srilanka, dan Thailand). Kekhawatiran
ini muncul setelah CITES membuka perdagangan gading untuk empat negara di
Afrika bagian selatan (Afrika Selatan, Botswana, Namibia, dan Zimbabwe). Dengan
dibukanya perdagangan gading secara legal untuk negara-negara di Afrika
tersebut maka dapat mendorong masuknya gading gajah Asia secara ilegal di pasar
gelap. Hal ini sangat mungkin terjadi karena perbedaan gading gajah Asia dan
Afrika sangat sulit dideteksi perbedaannya.
Contoh
kasus yang terjadi di sekitar TN Bukit Barisan Selatan, terdapat 12 pemburu dan
cukong gading yang telah menjual 1.260 kg gading sejak tahun 2003. Jumlah
gading ini setara dengan membunuh 47 ekor gajah. Di Way Kambas, terdapat 19
orang pemburu, cukong, dan pengrajin gading yang mampu menjual 1.785 kg gading
sejak tahun 2003. Jumlah ini setara dengan membunuh 52 ekor gajah. Perburuan
gajah itu sendiri dilakukan di wilayah Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan
Riau (Adhiasto, 2007).
C.
Konservasi
In-Situ Gajah Sumatera dan Kalimantan
1.
Pengertian
Konservasi In-Situ
Konservasi in-situ (di dalam kawasan)
adalah konservasi flora, fauna, dan ekosistem yang dilakukan di dalam habitat
aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan
secara alami. Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan
ekosistem darat dan laut beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi in-situ
dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), zona
inti taman nasional, dan hutan lindung.
Kawasan
suaka margasatwa yaitu kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya
dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Kawasan suaka margasatwa di
Indonesia yang melindungi gajah adalah suaka margasatwa Gunung Leuser di Aceh,
suaka margasatwa Sumatera Selatan, dan suaka margasatwa Way Kambas di
Lampung.
2.
Status
Populasi dan Distribusi
Populasi gajah Sumatera tersebar di tujuh
provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu,
Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara itu, gajah Kalimantan hanya terdapat
di satu provinsi yaitu Kalimantan Timur. Sekalipun satwa ini tergolong dalam
prioritas konservasi yang tinggi, ternyata sampai dengan saat ini kajian dan
analisa distribusi dan populasi kedua satwa ini belum dilakukan secara
komprehensif dan menggunakan metode ilmiah yang baku. Para otoritas pengelola
gajah di Indonesia, Departemen Kehutanan, hanya memperkirakan populasi gajah di
alam dengan menggunakan metoda ekstrapolasi dari beberapa observasi langsung
dan informasi dari para petugas lapangan yang bekerja di Taman Nasional, Balai
Konservasi Sumber Daya Alam dan Dinas Kehutanan.
Pada
tahun 1980-an, pernah dilakukan survei gajah di seluruh Sumatera dengan
menggunakan metode penaksiran secara cepat (rapid assessment survey).
Hasil survei tersebut memperkirakan populasi gajah Sumatera berjumlah 2800-4800
individu dan tersebar di 44 lokasi (Blouch dan Haryanto, 1984 ; Blouch dan
Simbolon, 1985). Hasil survei ini tidak pernah diperbaharui secara sistematis
kecuali di provinsi Lampung yang dilakukan oleh Wildlife Conservation
Society (WCS) pada tahun 2000 (Hedges et al, 2005). Hasil penelitian yang
komprehensif di provinsi ini menunjukkan bahwa provinsi Lampung telah
kehilangan 9 kantong populasi dari 12 kantong yang ditemukan pada tahun 1980
(Hedges et al, 2005).
Hingga
saat ini, hanya ada dua populasi gajah sumatera yang diketahui jumlahnya
berdasarkan survei yang sistematis pada tahun 2000 yaitu, populasi gajah di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebanyak 498 individu dan Taman Nasional
Way Kambas (Hedges et al, 2005).
Khusus
untuk gajah Kalimantan, pada tahun 2000 dan 2001, yayasan World Wide Fund
for Nature-Indonesia (WWF-Indonesia) telah melakukan survei untuk mengkaji
populasi dan distribusi gajah di Kabupaten Nunukan, namun survei yang dilakukan
hanya melihat keberadaan umum populasi gajah di daerah tersebut.
Dalam
pertemuan Lokakarya Gajah dan Harimau pada bulan Agustus 2007, para pemerhati
gajah di Indonesia menyadari bahwa informasi akurat untuk mengukur jumlah
populasi gajah di Sumatera dan Kalimantan sangat sukar diperoleh. Oleh karenanya
dilakukan estimasi sementara jumlah populasi gajah Sumatera berkisar antara
2400-2800 individu dan jumlah populasi gajah Kalimantan berkisar antar 60-100
individu.
Apabila
diasumsikan, perkiraan ini memiliki tingkat keakuratan yang sama dengan
perkiraan yang pernah dilakukan pada tahun 1990-an maka populasi gajah Sumatera
telah mengalami kepunahan sekitar 35% dari tahun 1992, dan nilai ini merupakan
penurunan yang sangat besar dalam waktu pendek.
Data
populasi dan distribusi yang kurang akurat dan sudah terlalu lama akan
menyulitkan banyak pihak khususnya para petugas lapangan pengelola taman
nasional dan juga para pemegang keputusan dalam menentukan dan mengalokasikan
kawasan-kawasan yang diperlukan untuk prioritas konservasi gajah dan
pembangunan nasional di kedua pulau tersebut.
Beberapa
hal yang selama ini dirasakan menjadi faktor pembatas dalam penentuan status
populasi dan distribusi adalah tingginya investasi sumber daya manusia, finansial,
dan waktu yang dibutuhkan. Argumentasi ini sebenarnya dapat diatasi dengan cara
membangun kolaborasi yang sinergis antara para pihak yang berkepentingan,
terutama pihak yang menggunakan lahan hutan untuk sektor pertanian, industri
kehutanan, pertambangan, pemerintah pusat dan daerah dan lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang konservasi gajah.
3.
Habitat
dan Tingkah Laku
Gajah
Sumatera dan Kalimantan merupakan sub spesies gajah Asia yang umumnya hidup di
daerah dataran rendah, dan tinggi di kawasan hutan hujan tropika pulau Sumatera
dan Kalimantan.
Satwa
ini merupakan spesies yang hidup dengan pola matriarchal yaitu hidup
berkelompok dan dipimpin oleh betina dewasa dengan ikatan sosial yang kuat.
Studi di India menunjukkan populasi gajah memiliki pergerakan musiman berkelompok
dalam jumlah 50-200 individual (Sukumar,1989).
Hingga
saat ini diketahui bahwa 85% populasi gajah di Sumatera dan Kalimantan berada
di luar kawasan konservasi. Kondisi ini menyulitkan para pengelola untuk
melakukan manajemen konservasi gajah karena adanya tumpang tindih kegiatan dan
perbedaan usulan alokasi peruntukan lahan dari pihak-pihak lain.
Kelompok
gajah bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lain, dan memiliki daerah
jelajah yang terdeterminasi mengikuti ketersediaan makanan tempat, berlindung,
dan berkembang biak. Luasan daerah jelajah akan sangat bervariasi tergantung
dari ketiga faktor tersebut.
Untuk
mengetahui kondisi habitat yang ideal bagi gajah Sumatera dan Kalimantan
diperlukan pengetahuan tentang perilaku sosial, pola pergerakan dan kebutuhan
ekologinya. Pergerakan musiman gajah adalah merupakan daerah jelajah yang rutin
dan daerah jelajah suatu kelompok gajah dapat tumpang tindih dengan daerah
jelajah kelompok lainnya.
Untuk
memenuhi kebutuhan spasial suatu kelompok gajah diperlukan informasi yang
akurat tentang daerah jelajah kelompok gajah dan juga pergerakan musimannya.
Gajah jantan dapat hidup secara sendiri atau bergabung dengan jantan lainnya
membentuk kelompok jantan. Kelompok jantan memiliki daerah jelajah yang tumpang
tindih atau bersinggunggan dengan daerah jelajah kelompok betina atau jantan
lainnya.
Usia
aktif bereproduksi pada gajah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, ketersediaan
sumber daya pakan, dan faktor ekologinya (misalnya kepadatan populasi). Gajah
siap bereproduksi pada usia antara 10-112 tahun (Ishwaran, 1993).
Masa
kehamilan berkisar antara 18-23 bulan dengan rata-rata sekitar 21 bulan dan
jarak antar kehamilan betina sekitar 4 tahun (Sukumar, 2003). Dari data ini
dapat diperkirakan apabila usia maksimal gajah betina sekitar 60 tahun, maka
semasa hidupnya akan bereproduksi maksimal sekitar 7-8 kali. Kemampuan gajah
bereproduksi cecara alami yang rendah dikombinasikan dengan kebutuhan akan
habitat yang luas dan kompak membuat mereka sangat rentan terhadap kepunahan.
Oleh karena itu, upaya konservasi gajah di alam selain harus memperhatikan
keutuhan dan integritas habitat juga harus memperhatikan aspek dinamika populasinya.
D.
Konservasi
Ex-Situ Gajah Sumatera dan Kalimantan
1.
Pengertian
Konservasi Ex-Situ
Konservasi
ex-situ (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang dilakukan dengan menjaga
dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan
cara pengumpulan jenis, pemeliharaan dan budidaya (penangkaran). Konservasi
ex-situ dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun botani,
taman hutan raya, kebun raya, penangkaran satwa, taman safari, taman kota, dan
taman burung. Cara ex-situ merupakan suatu cara memanipulasi obyek yang
dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang
hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik.
2.
Sejarah
Pengelolaan
Gajah captive memiliki sejarah yang panjang dan merupakan
suatu permasalahan yang penting bagi konservasi gajah di Indonesia. Gajah
captive di Indonesia mulai dikelola pada tahun 1980-an, pada saat Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) melakukan penangkapan
gajah liar untuk mengurangi konflik gajah dengan manusia. Konsep pengelolaan
gajah oleh pemerintah Indonesia pada saat itu adalah Tiga Laman yaitu terdiri
dari Bina Laman, Tata Laman, dan Guna Laman. Tata Liman merupakan kegiatan
menata kembali populasi gajah yang terpecah sebagai akibat kegiatan pembangunan
dengan jalan mentranslokasikannya dari areal sekitar kegiatan pembangunan ke
aarah kawasan yang disediakan untuk gajah. Bina Liman diperuntukkan untuk
meningkatkan harkat hidup gajah sehingga tidak hanya sebagai satwa perusak saja
melainkan dapat diterima sebagai satwa yang berguna dan dapat dicintai oleh
manusia. Guna Liman adalah upaya dalam bentuk pemanfaatan gajah-gajah yang
sudah ada di PLG untuk digunakan semaksimal mungkin dalam membantu konservasi
gajah dan juga dapat berperan sebagai sarana pendidikan konservasi dan hiburan.
Pada
periode tahun 1986 hingga 1995, lebih kurang 520 ekor gajah telah ditangkap
untuk mengatasi konflik manusia dan gajah. Gajah yang ditangkap ditempatkan di
6 Pusat Latihan Gajah (PLG) di Sumatera. Pengelolaan gajah dengan konsep
tersebut kemudian direvisi oleh pemerintah Indonesia karena tidak
berkesinambungan dan dapat mempengaruhi kelestarian gajah di habitat aslinya.
Selain itu, konsep Tiga Laman juga mengakibatkan terjadinya penumpukan gajah di
PLG yang konsekuensinya mengakibatkan pengelolaan PLG membutuhkan dana yang
sangat besar. Pemerintah Indonesia kemudian mencoba mengembangkan pengelolaan
gajah captive dengan pendekatan baru yang inovatif dan berusaha untuk tidak
menangkap gajah liar di alam sebagai salah satu upaya penanggulangan
konflik.
3.
Pengelolaan
Gajah Captive (Ex-Situ)
Pengelolaan gajah captive di Indonesia sepenuhnya diatur
oleh pemerintah. Namun demikian pemerintah juga melakukan kerjasama dengan
lembaga konservasi dari dalam dan luar negeri untuk memperbaiki manajemen yang
sudah ada. Beberapa hal yang telah dilakukan pemerintah dengan mitranya dalam
pengelolaan gajah jinak di Indonesia :
a.
Mitigasi
konflik gajah-manusia, gajah captive digunakan untuk menangani konflik
gajah-manusia di daerah-daerah yang sering mengalami konflik. Gajah jinak
digunakan untuk menggiring gajah liar kembali ke habitatnya.
b.
Registrasi,
kegiatan registrasi gajah captive dengan menggunakan microchip. Hingga
saat ini proses registrasi telah dilakukan
di sebagian besar populasi gajah captive di Sumatera. Diperkirakan
sekitar 174 ekor (36%) dari seluruh gajah yang ada di PLG sudah
diregistrasi.
c.
Penelitian
ekologi, kegiatan penelitian ekologi gajah telah dilakukan untuk mengetahui
jenis pakan gajah di alam serta untuk mengetahui hubungan kandungan nutris
pakan dan perilaku pakan.
d.
Kegiatan
konservasi, gajah captive telah digunakan untuk berbagai kegiatan konservasi
termasuk patroli, perlindungan habitat, monitoring, dan survei satwa liar lain.
e.
Pendidikan
konservasi, gajah captive merupakan alat penting yang digunakan untuk
menyampaikan pesan konservasi.
f.
Ekoturisme,
kegiatan ekoturisme adalah kegiatan mengelilingi kawasan sekitar dengan gajah.
Kegiatan ini yang paling banyak dilakukan di hampir semua PKG dan diharapkan
dapat membantu pengelolaan PKG secara mandiri
E.
Strategi
Konservasi Gajah dalam Pengelolaan Habitat Gajah
Hal yang perlu
dilakukan untuk melindungi habitat gajah adalah :
1.
Memahami,
memonitor, dan mempublikasikan kondisi seluruh habitat gajah, serta daerah
jelajahnya sehingga dapat diketahui masyarakat dan aktor pembangunan untuk
menghindari kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan konflik dengan gajah.
2.
Meminimalisasi
kehingan habitat dengan menghindari kegiatan pembangunan di sekitar kawasan
populasi gajah dan daerah jelahnya.
3.
Membangun
koridor-koridor pada habitat gajah yang terputus akibat aktivitas pembangunan.
Perlu dilakukan pengintegrasian habitat dan daerah jelajah dalam tata ruang,
perencanaan pembangunan, dan pengelolaan konsensi.
4.
Mengembangkan
konsep “Manage Elephant Range” dengan melakukan pengelolaan habitat oleh
multi pemangku kepentingan secara terpadu terutama di luar kawasan konservasi
(areal HPH, HTI, perkebunan, pertambangan, dan lahan masyarakat).
5.
Melaksanakan
program restorasi dan rehabilitasi habitat gajah untuk meningkatkan daya dukung
habitat.
6.
Melaksanakan
studi intensif pada ekologi pakan (dietary ecology), pola pergerakan (movement),
dan penggunaan habitat (habitat use) untuk mengoptimalkan intervensi
manajemen konservasi gajah.
7.
Mensinergikan
habitat dan koridor gajah dalam program tata ruang dan pembangunan nasional,
provinsi serta kabupaten / kota di Sumatera dan Kalimantan.
BAB
III
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A.
Kesimpulan
Gajah Sumatera dan
Kalimantan hampir punah. Kini, jumlah gajah Sumatera sekitar 1800 ekor
sedangkan gajah Kalimantan hanya berjumlah 80 ekor. Penyebab berkurangnya
populasi gajah adalah perburuan liar gajah, alih fungsi lahan yang menyebabkan
hilangnya habitat gajah, serta tingginya konflik dengan manusia.
Upaya untuk menjaga gajah dari kepunahan
adalah dengan konservasi, baik in-situ maupun ex-situ. Konservasi in-situ (di
dalam kawasan) adalah konservasi flora, fauna, dan ekosistem yang dilakukan di
habitat aslinya. Kawasan untuk konservasi in-situ gajah di Indonesia adalah
suaka margasatwa Gunung Leuser di Aceh, suaka margasatwa Sumatera Selatan, dan
suaka margasatwa Way Kambas di Lampung. Sedangkan konservasi ex-situ adalah
upaya konservasi dengan menjaga satwa atau tumbuhan diluar habitatnya.
Konservasi ex-situ gajah dilakukan di kebun binatang, taman safari, dan
penangkaran satwa.
B.
Implikasi
Hasil penulisan
tentang hubungan antara manusia dengan satwa langka gajah yang menyebabkan
berkurangnya gajah secara signifikan, merupakan bukti akan pentingnya
konservasi pada gajah untuk mengurangi tingkat perburuan dan konflik dengan
gajah guna mencegah kepunahan pada gajah.
DAFTAR PUSTAKA
Bakri. (2014, 19 Mei). Mengungkap Mafia Gading Gajah. Serambi
Indonesia. Diperoleh 17 Oktober 2014,
dari http://aceh.tribunnews.com/2014/05/19/mengungkap-mafia-gading-gajah.
Blake, S., Hedges, S. (2004). Sinking the Flagship : the Case of
Forest Elephants in Asia and Africa. Conservation
Biology Journal, 18 (5), 1191-1202.
Departemen Kehutanan. (2007). Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan
2007-2017. Diperoleh 17 Oktober 2014, dari http://vesswic.com/
Dwi, N., Yudarini, I. G., Widyastuti, S. (2013). Tingkah Laku
Harian Gajah Sumatera di Bali Safari dan
Marine Park. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus, 2 (4), 461-468.
Fadillah, R., Yoza, D., Sribudiani, E. (2014). Sebaran dan
Perkiraan Produksi Pakan Gajah di Sekitar Duri
Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Jom Faperta, 1 (2).
Kinnaird, M. F., Sanderson, E. W. (2003) Deforestation Trends in a
Tropical Landscape and Implications
for Endangered Large Mammals. Biological Conservation Journal, 17 (1).
Mahanani, A. I. (2012). Strategi Konservasi Gajah Sumatera di
Suaka Margasatwa Sugihan Provinsi Sumatera
Selatan berdasarkan Daya Dukung Habitat. UNDIP.
Meytasari, P., Bakri, S., herwanti, S. (2014). Penyusunan Kriteria
Domestik dan Evaluasi Praktek Pengasuhan
Gajah di Taman Nasional Way Kambas. Jurnal Sylva Lestari, 2 (2), 79-88.
Nyhus, P. J., Sumianto, R. T. (2008). Crop-Raiding Elephants and
Conservation Implications at Way Kambas
National Park, Sumatera, Indonesia. Oryx Journal, 34 (4), 262-274.
Santiapillai, C., Jackson, P. (1990). The Asian Elephant An
Action Plan for its Conservation. Switzerland
: IUCN.
Suhandri, dkk. (2010). Analisa Konservasi Gajah Sumatera di Kantong
Balai Raja (Blok Libo), Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau.
Syarifuddin, H. (2008). Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah
Sumatera di Kawasan Seblat Kabupaten
Bengkulu Utara. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 11 (1).
Tyson, M. J., Kinnaird, M. F. (2005). Distribution, Status, and
Conservation Needs of Asian Elephants
in Lampung, Indonesia. Biological Conservation Journal, 124 (1), 35-48
Utomo, Y. W. (2014, 14 April). Gajah Sumatera Hampir Punah.
Diperoleh 17 Oktober 2014, dari http://sains.kompas.com/read/2014/04/14/2120386/Gajah.Sumatera.Hampir.Punah.
Zannah, Syarifatul. (2014). Peran WWF dalam Konservasi Gajah
Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo,
Riau. Journal Ilmu Hubungan Internasional, 2 (1), 195-208.
Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia dan populasi gajah berkurang lebih cepat dibandingkan dengan jumlah hutannya.
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN BANK
BalasHapus• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN OVO
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN GOPAY
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN DANA
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN SAKUKU
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN PULSA
• BANDAR JUDI ONLINE DEPOSIT MENGGUNAKAN LINKAJA
Promo Spesial :
• Bonus 100% (Khusus Casino Sexy Baccarat & Sabung Ayam)
• Bonus Deposit Pertama Sebesar 10%
• Bonus Deposit Harian Sebesar 5%
• Bonus Rollingan 0.8% Setiap Minggu
• Bonus Referensi ajak teman 7% + 2% (Seumur Hidup)
LINK RESMI PENDAFTARAN » http://159.89.197.59/register/
KONTAK WA RESMI » https://bit.ly/kontak24jam
1#Livechat Bolavita
2#Livechat Bolavita